Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Ritual dari Banyuwangi: Merayakan atau Memperkuat Identitas?

15 Januari 2023   08:11 Diperbarui: 18 Januari 2023   05:44 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival  Tumpeng Sewu Sewu yang digelar di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (24/8/2017).(ARSIP HUMAS PEMKAB BANYUWANGI/KOMPAS.COM) 

Pilihan pun jatuh kepada sapi. Untuk mengenang leluhur yang mereka sebut "Mbah Daeng" itulah warga Kenjo menggelar Sapi-sapian. Dalam pelaksanaannya, warga desa mengarak dua penduduk yang memakai penutup kepala berupa tiruan kepala sapi. Bahu mereka diikatkan kepada bambu sehingga menyerupai alat bajak. 

Mereka berdua diikuti rombongan ibu-ibu yang membawa bermacam hasil bumi dan para petani yang membawa-serta berbagai alat pertanian, juga memainkan berbagai alat musik. Tujuan ritual ini adalah menghormati arwah leluhur, Mbah Daeng, dan mengucapkan syukur dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Masih menurut Busairi, tradisi ini berhenti pada tahun 1962. Tidak ada alasan yang jelas mengenai penghentian tersebut. Dan mulai dihidupkan kembali beberapa tahun terakhir, dimulai tahun 2013.  

Dihidupkannya kembali ritual Sapi-sapian dan juga ritual-ritual lainnya bisa dibaca dalam beberapa sudut pandang. Pertama, munculnya keberanian untuk 'mengidupkan-kembali' ritual lama merupakan bentuk ekspresi komunal untuk menegaskan identitas mereka di tengah-tengah keragaman identitas Using dan identitas kultural Banyuwangi. 

Kedua, di tengah-tengah hegemoni modernitas yang berpotensi menyeragamkan warna kehidupan, masyarakat lokal nyatanya masih belum mau kehilangan subjektivitas kultural mereka. Kondisi ini merupakan warna pascakolonialitas umum di Banyuwangi dan daerah-daerah lain di Indonesia. 

Bahwa di tengah-tengah hasrat menjadi modern yang semakin menguat, masyarakat lokal masih bisa memainkan identitas komunal untuk kepentingan-kepentingan partikular. 

Ketiga, kekhasan dan keberbedaan dari komunitas Using lainnya merupakan modal kultural untuk mendapatkan perhatian dari para pengunjung dan media sehingga bisa menjadi alasan untuk masuk menjadi agenda wisata kabupaten. 

Sebenarnya, dalam konsep wisata budaya berbasis komunitas, pemeriahan sebuah ritual yang melibatkan warga bisa menjadi atraksi kultural yang sekaligus sebagai pemantik untuk mempromosikan potensi desa. 

Namun, ketika tidak bisa mengelola dengan baik, ritual hanya akan menjadi perayaan sesaat yang tidak memberikan implikasi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, bagi masyarakat lokal, ketika tujuan utama dari ritual ditujukan sebagai ungkapan syukur, maka target ekonomi bukanlah utama.

Ritual-ritual bercorak agraris memang masih dijalankan oleh komunitas-komunitas Using untuk menegaskan keberbedaan dan keunikan identitas di antara mereka, meskipun sama-sama ditujukan untuk menghormati kekuatan adikodrati yang ada dalam kehidupan mereka. 

Namun, perayaan identitas komunal dalam pelaksanaan ritual juga tidak murni lagi menjadi milik mereka. Rezim negara sejak Orde Baru hingga saat ini juga merasa menjadi 'pemilik legal' dari ritual-ritual komunal tersebut, sehingga mereka bisa berinvestasi di dalam pelaksanaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun