Seandainya pihak-pihak yang kontra terhadap ritual ini mau mempelajari dan mendalami makna filosofis dan asal-muasal kelahirannya, bisa dipastikan bahwa  kegagalan tafsir yang nyaris menimbulkan konflik horisontal bisa dihindari.Â
Keindahan dan kedalaman tafsir yang dimunculkan dari ritual ini menunjukkan kecerdasan lokal dalam memaknai kekuatan agama mayoritas yang mulai disyiarkan di bumi Blambangan sejak zaman kerajaan. Tentu saja, tafsir model ini tidak ditemukan dalam tradisi Islam di wilayah Arab.Â
Sementara, masyarakat Using memiliki tradisi agraris dan estetik yang sudah berkembang sejak lama, sehingga pelajaran-pelajaran tentang hakekat iman, ihsan, dan Islam yang dipancarkan dari kedirian Nabi Muhammad SAW tidak serta-merta dibiarkan menjadi ajaran dogmatis yang hanya membuat orang malas untuk meyakininya.Â
Kecerdasan lokal tersebut sekaligus membentuk identitas kultural-religi yang membedakan masyarakat Using dengan pemeluk-pemeluk Islam lainnya, baik di tanah Jawa, Indonesian, maupun dunia.Â
Perbedaan tafsir terhadap ritual dan adat juga melibatkan rezim kabupaten, khususnya terkait agenda pariwisata yang mereka programkan. Seperti kami jelaskan sebelumnya, pemerintah menginkorporasi pelaksanaan beberapa ritual yang dilaksanakan komunitas-komunitas Using.Â
Kebo-keboan (Alasmalang dan Aliyan), Seblang (Bakungan dan Olehsari), Endhog-endhogan (Kejoyo), Tumpeng Sewu dan Barong Ider Bumi (Kemiren) adalah sebagian ritual yang telah masuk dalam kalender wisata Pemkab Banyuwangi.Â
Masyarakat memang merasa senang karena identitas mereka mendapatkan legitimasi negara, sehingga mereka pun mendapatkan bantuan pendanaan bagi pelaksanaan ritual. Namun, itu semua juga membawa implikasi berupa beberapa penyesuaian tampilan acara yang sesuai dengan selera kultural rezim penguasa.Â
Dalam Seblang Bakungan, misalnya, adegan adu ayam jago dipaksa untuk ditiadakan karena oleh rezim dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa acara tambahan juga digelar dalam pelaksanaan Kebo-keboan. Dalam Seblang Olehsari, tempat pelaksanaan ritual dibuat megah, meskipun pada akhirnya tidak digunakan karena penari tidak bisa trance bila menempati panggung megah.
Yang menarik, ramainya kegiatan ritual yang masuk agenda wisata pemerintah kabupaten telah memunculkan gairah warga Using untuk 'menghidupkan-kembali' ritual-ritual yang lama tidak digelar.Â
Salah satu ritual yang 'dihidupkan-kembali' adalah tradisi Sapi-sapian di Desa Kenjo, Glagah Banyuwangi. Busairi, salah satu tokoh adat Kenjo, menjelaskan bahwa sapi-sapian sudah ada sejak sekira tahun 1700-an sewaktu 3 orang dari Bugis membuka lahan untuk pertama kali (Sapi-sapian).
Karena kesulitan air, mereka memilih lahan yang sekarang berada di Kenjo. Untuk membajak lahan persawahan, mereka menggunakan tenaga manusia; dua orang menjadi sapi yang menarik bajak dan 1 orang mengendalikan bajak. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan tenaga binatang.Â