Duranti (1997: 2-3) menjelaskan antropolinguistik sebagai “studi yang mempelajari kebahasaan sebagai sumber kultural dan tuturan sebagai praktik kultural.” Kebahasaan dengan beragam bentuk dan kompleksitasnya merupakan entitas yang darinya kita bisa mengetahui permasalahan kultural ataupun pandangan dunia masyarakat terkait persoalan tertentu.
Selain itu, tuturan sebagai praktik berbahasa dalam kehidupan sehari-hari merupakan praktik kultural yang mengkonstruksi pola pikir, ideal, dan kepentingan dalam masyarakat.
Definisi sederhana tersebut menyiratkan bahwa antropolinguistik bersifat interdisipliner yang menyandarkan dan memperluas metode-metode yang sudah mapan dari antropologi dan linguistik. Tentu saja proses melintasi-disiplin tersebut tidak semata-mata menjadi karakteristik antropolinguistik.
Salah satu alasan mendasar dari perkembangan lintas-disiplin dalam kajian akademis, dari pengembangan teori, metodologi, hingga penerapan di lapangan, adalah kenyataan satu permasalahan dalam masyarakat yang dikaji bukanlah entitas tunggal yang berdiri sendiri sebagai sebuah eksistensi.
Dampaknya, kefanatikan pada satu bidang ilmu, baik budaya maupun linguistik, tidak akan bisa menguraikan dan menjelaskannya secara detil dalam sebuah kajian.
Contoh sederhana adalah bagaimana dalam peristiwa kampanye menjelang Pemilu legislatif banyak calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan ungkapan-ungkapan yang bermakna janji.
Kalau ungkapan-ungkapan mereka hanya dikaji secara deskriptif berdasarkan teks yang ditranskripsi apa adanya, temuan yang akan didapatkan bisa dipastikan tidak akan menyentuh wilayah-wilayah yang bersifat politik, kultural, atau bahkan ekonomi.
Untuk itulah dibutuhkan analisis wacana kritis yang menggabungkan analisis linguistik deskriptif untuk mengetahui struktur khas kebahasaan yang dipakai calon anggota dewan dan analisis kritis untuk melihat kepentingan kuasa yang dinegosiasikan melalui pidato kampanye serta konteks ideologi politik dan kultural masyarakat.
Lebih dari itu, terdapat tujuan yang bisa menjadikan studi ini berbeda dengan studi lainnya, khususnya dalam hal proses analisis dan temuan yang dihasilkan. Tujuan proses melintasi-disiplin tersebuat adalah untuk memahami beragam aspek bahasa sebagai serangkaian praktik kultural.
Dalam hal ini, praktik kultural dipahami sebagai sistem komunikasi yang memungkinkan proses produksi makna (representasi) yang berlangsung antarindividu dalam masyarakat dan dalam diri seorang individu terkait tatanan sosial. Representasi tersebut membantu mereka untuk memahami dan membentuk tindakan-tindakan sosial.
Terinspirasi dari karya sejumlah antropolog ternama di awal abad ke dua puluh yang menjadikan bahasa sebagai pusat perhatian teoretis dan sebagai alat yang tidak bisa dipisahkan dari antropologi kultural, para antropolog linguistik bekerja untuk menghasilkan penjelasan grounded secara etnografis (mendasar dari temuan di lapangan).