Pilihan sebagian besar wong Tengger untuk menyusul saudara-saudara sak-keturunan mereka yang menetap di lereng atas Bromo merupakan pilihan strategis dalam menghadapi pengaruh masyarakat dan budaya baru yang berbeda dengan budaya mereka.Â
Kita bisa memahami bahwa wong Tengger pra-kolonial dan pra-kedatangan buruh Madura dan Jawa adalah komunitas yang sudah memiliki keyakinan religi yang mapan dan kuat serta sama sekali berbeda dengan religi yang dibawa para pendatang.Â
Keyakinan terhadap posisi mereka sebagai penjaga hila-hila yang harus menjalankan peribadatan tertentu menjadikan mereka merasa takut terkena kutukan, sebagaimana dititahkan para raja, sejak Singasari sampai dengan Majapahit. Kekuatan terhadap keyakinan ini menjadi salah satu faktor untuk pindah ke lereng atas.Â
Dengan berpindah ke atas, mereka tidak akan terusik atau dijadikan sasaran konversi oleh para pendatang maupun warga Eropa, sehingga masih bisa menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran leluhur.Â
Selain itu, makna solidaritas dan rasa memiliki mereka akan berubah ketika bertahan di lereng bawah dengan membaur bersama warga pendatang karena akan memunculkan sistem dan praktik sosial yang berbeda. Dhukun pandita atau Sang Makedur, misalnya, akan kehilangan posisi religi-nya karena dalam agama Islam tidak mengenal tokoh agama ini, tetapi kyai.Â
Ritual-ritual dan mantra-mantra juga akan mengalami perubahan. Maka, pilihan untuk pindah merupakan pilihan eksistensial untuk terus mengembangkan dan memperkuat ikatan solidaritas komunal berbasis identitas religi dan budaya warisan leluhur Tengger. Inilah babak awal politik identitas yang mereka mainkan di masa kolonial.Â
Mengkonversi Agama sebagai Siasat di Masa Orde Baru
Sayangnya, keyakinan religi Syiwa-Sugata sebagai identitas religi masyarakat Tengger tidak cukup ampuh untuk menjadikan mereka aman dari kuasa rezim negara Orde Baru yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu dari agama yang diakui, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.Â
Syiwa-Sugata, bagi rezim negara, bukanlah agama resmi, sehingga warga Tengger diharuskan untuk memeluk salah satu dari kelima agama tersebut. Tentu saja, ini merupakan ancaman terhadap eksistensi Tengger, apalagi dasar peraturan tersebut adalah untuk membersihkan sisa-sisa komunis dari bumi Indonesia.Â
Ketika sebuah komunitas etnis tidak memeluk salah satu dari agama resmi, maka mereka akan dicap tidak beragama alias komunis. Labelisasi komunis tentu akan memunculkan trauma mendalam karena tragedi berdarah yang juga dialami oleh sebagian warga Tengger yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan PKI.Â
Trauma terhadap tragedi berdarah 1965, di mana banyak warga Tengger yang dibunuh oleh laskar-sipil atas arahan pihak militer, menjadikan mereka harus memilih salah satu dari agama resmi yang diwajibkan dan diakui oleh rezim Orde Baru.