Pada awalnya, mereka mendapati agama Buddha dekat dengan keyakinan leluhur mereka. Namun demikian, bukan berarti mereka langsung menyepakatinya. Sebagian masyarakat Tengger menerima agama Buddha. Dalam perjalanannya, para dhukun pandita mempelajari agama Hindu Dharma dari Bali dan dianggap sesuai dengan ajaran leluhur.
Maka, pertengahan era 1970-an, atas campur tangan rezim negara dan pertemuan para dhukun pandita, disepakati bahwa masyarakat Tengger memeluk agama Hindu. Hal itu didasarkan pada kemiripan ritual dan mantra-mantra yang dibaca para dhukun. Dipelukknya agama Hindu bukan berarti melepaskan orang Tengger dari keyakinan dan praktik agama leluhur mereka.Â
Mereka tetap menggelar ritual Kasada, Entas-entas, Unan-unan dan yang lain. Masyarakat Tengger juga tidak melakukan ngaben sebagaimana dilakukan pemeluk Hindu di Bali. Orang meninggal tetap dikubur tetapi dengan kepala menghadap ke arah Bromo, tempat purifikasi arwah dari dosa-dosa di dunia sebelum diangkat ke Gunung Semeru dan Nirwana.
Meskipun demikian, tidak semua masyarakat Tengger bersepakat terhadap pilihan religi baru tersebut. Dhukun dan masyarakat Tengger Ngadas Malang memilih memeluk Buddha Jawa Sanyata yang secara resmi berafiliasi ke Buddha.Â
Meskipun demikian, ajaran Buddah Jawa Sanyata tidak sama persis dengan ajaran Buddha. Ajaran ini berasal dari agama Jawa Sanyata yang bercirikan percampuran Syiwa-Sugata dan keyakinan lokal Jawa masa lalu.Â
Menariknya, baru pada era 1990-an sesepuh Buddha Jawa Sanyata mempelajari secara serius Sidharta Gautama atau disebut Sri Raja Mahadewa Buddha . Ajaran Buddha Jawa Sanyata menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai Sang Hyang Wenang Ing Jagad. Warga juga menghormati dan meyakini Eyang Ibu Bumi sebagai sosok yang mengalirkan kesuburan pada bumi (Destinasian).Â
Menariknya lagi, sebagaimana banyak diyakini orang Jawa, Ki Semar, pemimpin Punakawan dalam cerita pewayangan Jawa juga memiliki tempat terhormat dalam keyakinan dan praktik religi Buddha Jawa Sanyata (Kompasiana/Mbah Ukik).Â
Ki Semar bersama Sri Raja Mahadewa Buddha merupakan figur yang menyebarkan ajaran welas-asih dan pembawa wahyu Tuhan.Â
Sekali lagi, pilihan ini merupakan ‘pilihan politis’, dalam artian mereka memilih untuk menjadi Hindu ataupun Buddha didasarkan atas pertimbangan untuk keselamatan generasi berikutnya, karena ketika memilih untuk tidak memilih agama tersebut, sangat mungkin mereka akan mendapatkan hukuman dari rezim represif, dipenjara ataupun dibunuh laskar sipil dengan dukungan militer.Â