Menurut saya, kualitas pribadi yang dihasilkan dari keturunan pandita dengan beragam habitus religi-lah yang menjadikan manusia Tengger pribadi-pribadi unggul yang taat dalam beribadah dan kuat dalam bekerja.
Perihal kesakralan dan pemujaan terhadap Gunung Bromo diyakini sudah berlangsung sejak zaman Mataram Mataram Jawa Timur. Posisi sakral tersebut diperkuat di zaman Singasari dan Majapahit, sehingga para pandhita, sebagaimana kami jelaskan secara singkat sebelumnya, mendapatkan tugas khusus untuk menjaga dan menghormati Bromo.Â
Kabar tentang Bromo dan komunitas Tengger rupa-rupanya tidak pernah pudar, meskipun Majapahit sudah hancur. Di masa kolonial Bromo dan keunikan religi masyarakat Tengger menjadi objek foto para fotografer dan pelancong serta objek kajian para peneliti, selain menjadi tempat wisata.Â
Bahkan, Raja Siam (Thailand), Cholalongkorn, pernah berziarah ke Bromo pada masa kolonial Belanda. Kenyataan tersebut mempertegas bahwa selain memiliki keunikan alam, kawasan Tengger juga memiliki daya spiritual yang sudah tersiar ke mana-mana.Tentu saja, kedatangan Raja Siam ke Gunung Bromo bukan sekadar untuk berwisata.Â
Bisa diduga, ia sebagai raja mendapatkan informasi penting terkait gunung ini dalam kosmologi Majapahit. Sebagaimana kita ketahui, meskipun Siam tidak pernah dijajah Majapahit, tetapi kerajaan ini juga menjalin komunikasi, sehingga sangat mungkin terdapat literatur atau informasi tentang kawasan Bromo dan masyarakat Tengger yang sampai ke kalangan istana.Â
Terlepas dari benar atau salahnya dugaan tersebut, Raja Cholalongkorn mungkin memiliki perhatian atau tujuan khusus ketika berziarah ke Bromo. Dan, pastinya, itu berkaitan dengan keyakinan religinya sebagai pemeluk Buddha.
Kedatangan manusia-manusia Eropa, pada akhirnya, memang menjadikan kehidupan warga Tengger berubah karena sebagian besar kawasan subur di lereng bawah Bromo yang yang semula mereka diami dikonversi menjadi area perkebunan kopi, kakao, dan cengkeh.Â
Pembukaan lahan ini diikuti pula dengan migrasi yang dilakukan oleh pihak VOC dengan mendatangkan para pekerja dari Madura dan orang-orang Jawa yang mayoritas beragam Islam. Sebagian mereka mendiami lereng bawah bagian Barat, Timur, Selatan, dan Utara.Â
Kedatangan para pekerja perkebunan ini sedikit banyak menghadirkan permasalahan sosio-kultural bagi masyarakat Tengger karena keyakinan religi yang berbeda. Sebagian besar wong Tengger memilih untuk pindah ke lereng atas dan sebagian kecil bertahan dengan melakukan adaptasi terhadap masyarakat dan budaya baru.Â
Kawasan Nongkojajar di Singosari Malang perlahan-lahan berubah menjadi komunitas Jawa dan sebagian warga Tengger yang bertahan akhirnya beradaptasi dengan budaya Jawa.Â
Sementara, kawasan Puspo di Pasuruan dan Sukapura di Probolinggo dihuni mayoritas Madura-Muslim. Demikian pula di kawasan Senduro Lumajang yang mayoritas penduduknya adalah Madura dan Jawa.