Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijakan Budaya yang Memberdayakan: Konsep, Kritik, dan Tantangan

25 Desember 2022   07:43 Diperbarui: 25 Desember 2022   20:13 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan teater Wangsa bertajuk Opera-Si Plastik. Sumber: Kompas.com

Tata kelola kepemerintahan, memodifikasi pemikiran Foucauldian, yang terdiri dari institusi, prosedur, analisis dan refleksi, kalkulasi dan taktik yang memungkinkan berlangsungnya kekuasaan dengan target warga masyarakat dengan aktivitas-aktivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan publik (Bennet, 2007). 

Kepemerintahan yang baik, idealnya, akan menghasilkan kebijakan yang bisa mendorong subjektifikasi, pembentukan subjek masyarakat yang berada dalam pengaruh kebijakan tersebut. Di sinilah dibutuhkan peran penting dari wacana dan praktik diskursifnya, berupa institusi, aparat, mekanisme, penyebarluasan, dan lain-lain. 

Kerangka tersebut memosisikan kebijakan budaya sebagai sebuah konsep yang dibuat berdasarkan analisis dan refleksi mendalam terhadap kebutuhan masyarakat dalam bidang budaya sehingga bisa dipahami dan diikuti oleh mereka. 

Di sinilah dibutuhkan keberadaan agen (aparat negara, seniman, pendidik, maupun budayawan) untuk mengkonstruksi kebijakan yang bisa menjadi “kebenaran” yang dijalankan oleh para pelaku di masyarakat serta peran intelektual untuk mengkritisi dan memberikan masukan terkait kebijakan yang telah atau akan dibuat.

McGuigan (1996, 2003, 2004) menegaskan bahwa kebijakan budaya memang memunculkan konsep pengaturan dan pengendalian, namun maknanya tidak harus hanya dibatasi pada tindakan-tindakan operasional dan administratif oleh aparat pemerintah semata. 

Kalau seperti itu hanya akan terjebak ke dalam  kerja-kerja teknis, tanpa menimbang bagaimana efek politik, ekonomi, dan sosial sebuah kebijakan yang dibuat oleh aparat pemerintah.  

Kebijakan budaya yang baik adalah yang mampu mengkombinasikan bermacam aspek, seperti pertumbuhan teknologi, kemampuan manajerial pemerintah, serta bagaimana kuasa dari kebijakan menyebar secara diskursif (bukannya koersif) kepada para aktor kultural dan masyarakat secara luas di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi.

Perhatian-perhatian mendetil pada pengaruh kebijakan budaya, seperti terhadap aspek ekonomi, sosial, politik, serta kehidupan komunitas dan publik secara luas menjadi penting untuk dianalisis dalam kajian terhadapnya. 

Penonton menyaksikan pertunjukan musik di gelaran JakIPA di Monas, Jakarta Pusat. Sabtu (16/11/2019)(KOMPAS.COM/RYANA ARYADITA UMASUGI)
Penonton menyaksikan pertunjukan musik di gelaran JakIPA di Monas, Jakarta Pusat. Sabtu (16/11/2019)(KOMPAS.COM/RYANA ARYADITA UMASUGI)

Menurut Cunningham (2003) hal tersebut menjadikan kajian budaya bukan semata-mata sebagai pisau untuk membedah ketidakberesan serta wacana untuk melawan ketidakadilan kultural dalam masyarakat. 

Lebih dari itu, kajian budaya berorientasi kebijakan akan menjadikan intelektual terlibat secara diskursif dan praksis ke dalam kerja-kerja kebudayaan yang terfokus pada wilayah-wilayah lokal tanpa terjebak ke dalam slogan-slogan universal yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan pemerintah dan masyarakat setempat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun