Tubuh perempuan berpendidikan menjadi tempat pertarungan ideologi sosio-ekonomi untuk mencapai kesepakatan harga belis yang kemudian diperkuat keabsahannya oleh masyarakat patriarkis. Pada akhirnya, kontestasi prestise yang berusaha dipertahankan oleh masyarakat setempat memicu mapannya situasi kemiskinan orang Manggarai.
Terlepas dari kondisi kontekstual tersebut, dalam sebuah masyarakat yang sudah terbiasa dengan tradisi yang meskipun sudah berubah dari pemahaman awal, Â penolakan akan berimplikasi kepada sanksi-sanksi kultural yang bisa menjadi tekanan psikis bagi subjek yang melanggar.Â
Meskipun di akhir film, sutradara membuat sebuah pernyataan politik tertulis dengan mengatakan bahwa tradisi pemberian belis bisa menjadi alat legitimasi kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, menurut saya, secara keseluruhan Nokas tidak menyampaikan pernyataan tersebut.Â
Alih-alih, karena fokusnya kepada Nokas, film ini lebih banyak mengeksplorasi adegan ketika Nokas di sawah, membantu kakaknya menanam kangkung, membantu kakaknya membawa kangkung ke pasar pagi, membantu Ci bekerja di peternakan ayam potong, dan beberapa adegan lainnya.Â
Eksploitasi pada kedirian Nokas menjadikan film ini secara naratif, sedari awal, sengaja ‘melupakan’ atau dalam bahasa dekonstruksi sengaja menunda keterkaitan antara tradisi belis dengan kekerasan yang (akan) dialami pihak perempuan ketika mereka sudah berkeluarga. Tentu saja, hal tersebut wajar-wajar saja karena sineas dokumenter memiliki sudut pandang sendiri terkait aspek-aspek apa yang harus ditonjolkan.
Dengan jalinan narasi demikian, Nokas memang menjadi arena untuk menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan lelaki dalam tradisi Timor. Meskipun dilanda kegalauan karena besarnya mahar yang harus ia dan keluarganya berikan kepada keluarga Ci, Nokas tidak diperlihatkan mengalami kesedihan mendalam.Â
Memang sesekali ia digambarkan tengah memikirkan dalam-dalam persoalan tersebut sembari menikmati asap rokok, namun itu tidak menjadikannya harus diam. Alih-alih, ia selalu bersemangat untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit uang. Inilah kehidupan lelaki muda dari kalangan biasa yang tidak harus terbebani terlalu berlebihan ketika harus berhadapan dengan realitas beratnya urusan nikah.Â
Gaya orang kecil ketika menghadapi masalah dihadirkan dengan sangat khas sekali. Meskipun demikian, penggambaran beratnya perjuangan Nokas untuk mewujudkan belis bisa juga dibaca sebagai kritik halus terhadap kekakuan adat pernikahan, namun kritik itu, sekali lagi, tidak didukung secara kuat dalam narasi.
Bagaimanapun juga, semua tokoh yang ada dalam film ini berada dalam pengaruh ideologis belis sebagai habitus yang tidak perlu dipersoalkan lagi karena sudah menjadi adat, sebagaimana diucapkan Nokas ketika mengunjungi kerabatnya di pulau seberang untuk mengabarkan perihal rencana pernikahannya.Â
Kalau kita berbicara dengan menggunakan terminologi korban, maka Nokas dan Ci serta seluruh masyarakat, khususnya yang berasal dari kalangan tidak mampu, adalah korban dari tradisi belis. Komitmen untuk saling mencintai antara Nokas dan Ci, nyatanya, tidak cukup sebagai bekal buat mereka menikah.Â
Meskipun pihak keluarga Nokas dalam acara pinangan sudah berusaha menawar dengan gigih agar belis yang diberikan tidak terlalu banyak, namun pihak keluarga Ci tidak bergeming. Bahkan, dengan tegas Bapak Ci mengatakan bahwa urusan belis jangan disamakan dengan orang dagang, bisa ditawar-tawar.Â