Konsensus yang disepakati dalam bentuk adat atau tradisi yang mengikat inilah yang melahirkan doksa dalam masyarakat dan usaha untuk terus mempertahankannya dalam situasi yang berubah disebut ortodoksa. Pemberian belis juga menunjukkan betapa modal ekonomi sangat menentukan dalam proses pernikahan dan proses kultural yang mengikutinya.Â
Ketika pihak lelaki menjadi subjek yang memberikan di saat itu lah ia memiliki modal simbolik yang tidak terbantahkan lagi karena dilegitimasi secara sosial dan kultural oleh mekanisme adat sehingga akan menciptakan praktik kuasa yang mendominasi subjek perempuan.Â
Bukan Melawan atau Menolak Belis
Nokas tidak hendak menggugat keberadaan tradisi pemberian mahar tersebut. Alih-alih, film ini menceritakan dengan detil bagaimana perjuangan Nokas, tokoh utama, yang harus mengumpulkan uang dan keperluan lain pernikahan bersama-sama anggota keluarganyauntuk diberikan kepada calon pengantin perempuan, Ci.Â
Artinya, sejak awal film dokumenter yang berdurasi lebih dari satu jam ini memang tidak hendak menyuguhkan narasi perlawanan anak muda yang tidak berpendidikan tinggi terhadap tradisi yang membuatnya harus bersusah-payah mewujudkannya. Film ini juga tidak hendak menyamapaikan penderitaan perempuan setelah pernikahan karena pihak suami sudah merasa ‘membelinya’.Â
Nokas dan keluarganya serta Ci dan keluarganya yang hidup dalam tradisi turun-temurun tersebut tentu tidak akan melakukan kekonyolan dengan menolak memberikan belis kepada pihak perempuan. Apalagi tradisi belis secara tradisional dipahami sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan dalam ikatan keluarga yang sekaligus memberikan keuntungan kultural baginya.Â
Menurut Gero (2015) belis dalam perspektif tradisional memiliki fungsi sosial sebagai perekat hubungan sosial kekerabatan di masyarakat. Jadi, ia bukanlah hambatan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat karena diyakini bermanfaat serta mengusung nilai kebaikan, terutama dalam menjaga nilai komunal masyarakat.Â
Dikatakan demikian karena untuk mempersiapkan belis, keluarga mempelai laki-laki akan meminta bantuk ke keluarga serta kerabat terdekatnya yang tergabung dalam ikatan keluarga seetnis ataupun seguyub. Selain itu belis juga diberlakukan untuk menghargai perempuan dan untuk mencegah poligami serta sebagai ungkapan penghargaan setinggi-tingginya dan sekaligus mempererat tali kekeluargaan yang terjalin antara kedua keluarga.Â
Meskipun demikian, dalam perkembangan kontemporer, tradisi ini seringkali bergeser ke  pemahaman transaksional. Masih menurut Gero, Maraknya ketentuan nilai belis sebagai penghargaan terhadap perempuan berdasarkan tingkatan kualifikasi sumber daya manusia perempuan tersebut, seperti pendidikan terakhir dan pekerjaan yang dimiliki dan seakan-akan telah dibakukan, merupakan bukti terkait aspek transaksional.Â
Dalam kasus di Manggarai, misalnya, transaksional yang dimaksud karena perempuan dihargai hanya ketika ia memiliki kualitas yang berbeda yang diukur dengan gelar akademik dan ijazah sekolah. Lebih lanjut, kontestasi prestise antarkeluarga juga dinilai terjadi dalam tradisi belis, di mana keluarga Manggarai menetapkan ukuran-ukuran tertentu untuk ditiru dan diakui.Â