Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rudal Hantam Polandia, Rusofobia, dan Ukraina Tak Pernah Salah

19 November 2022   00:02 Diperbarui: 30 Januari 2023   06:41 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumus itu belum berubah: Rusia biang masalah dan Ukraina tak pernah salah. Bahkan ketika dua warga Polandia tewas akibat hantaman rudal yang kemungkinan besar berasal dari rudal pertahanan Ukraina, NATO dan para pemimpin Barat serta media pendukungnya tetap mengarahkan bermacam tuduhan kepada Rusia. 

Kita bisa membayangkan, bagaimana kalau benar-benar Rusia yang meluncurkan rudal tersebut. Tentu, tuduhan dan umpatan keji akan mengalir deras kepada Putin dan militer Rusia sebagai pihak-pihak yang sejak awal sudah diposisikan sebagai biang kerok terjadinya perang

Jens Stoltenberg, Sekretaris Jenderal NATO, mengatakan, "Biar saya perjelas: ini bukan kesalahan Ukraina. Rusialah yang paling bertanggung jawab karena mereka melanjutkan perang ilegal melawan Ukraina."

Dengan nada yang lebih hati-hati, Andrzej Duda, Presiden Polandia, mengatakan: "Saat ini kami tidak memiliki bukti bahwa itu adalah roket yang diluncurkan oleh pasukan Rusia. Namun, ada banyak indikasi bahwa itu adalah rudal yang digunakan oleh pertahanan antimisil Ukraina" (New York Times). 

Masih Kuatnya Rusofobia

Logika yang dikembangkan Stoltenberg menempatkan Ukraina sebagai pihak yang terpaksa meluncurkan rudal karena ancaman serius dari rudal-rudal Rusia. 

Artinya, Rusia harus dipersalahkan atas kesalahan fatal yang dilakukan Ukraina. Lagi-lagi, wacana formulaik yang terlalu menyederhanakan persoalan dikonstruksi dengan selalu menyalahkan Rusia. 

Tentu bukan sesuatu mengejutkan. Ia merupakan representasi dari lembaga pakta pertahanan yang didirikan karena ketakutan akan ancaman Uni Soviet sebelum bubar. 

Bagaimanapun juga Rusia adalah 'titisan' Uni Soviet yang masih membuat takut negara-negara anggota NATO. Apalagi ia tahu keinginan Ukraina bergabung dengan NATO merupakan alasan utama Rusia menyerang negara tersebut. 

Tidak kalah sengitnya, Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, mengatakan: "Meskipun kami masih belum mengetahui semua faktanya, kami tahu satu hal - tragedi ini tidak akan pernah terjadi kecuali invasi Rusia yang tidak perlu ke Ukraina dan serangan misilnya baru-baru ini terhadap infrastruktur sipil Ukraina. Ukraina memiliki hak untuk membela diri terhadap serangan ini" (BBC).

Baik Sekretaris Jenderal NATO maupun Duta Besar AS untuk PBB, pada dasarnya, mengadirkan narasi formulaik yang dikerangkai Rusofobia (Kompasiana)

Akibatnya, meskipun militer Rusia tidak meluncurkan rudal ke Polandia, argumen yang dikembangkan menempatkan Ukraina sebagai pihak yang mempertahankan diri setelah beberapa hari dibombardir oleh rudal Rusia.

Dalam logika demikian, bahkan seandainya wilayah Rusia yang diserang ole Ukraina, elit NATO dan AS kemungkinan besar tetap tidak menyalahkan Ukraina. 

Mungkin narasi belasungkawa atau menyesalkan terjadinya serangan akan diberikan, tetapi bisa jadi tetap ditambahi dengan "seandainya Rusia tidak menyerang Ukraina, semua ini tidak akan terjadi."

Masih kuatnya pengaruh Rusofobia dalam pola pikir para elit Barat menjadikan ketegangan yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina masih belum akan berakhir dalam waktu dekat. 

Bagaimanapun juga, elit Barat akan terus mencari cara untuk menyalahkan Rusia dan, sebaliknya, Rusia akan terus mempertahankan kebenaran versi mereka. 

Kalau ketidakpercayaan, kebencian, dan ketakutan terhadap Rusia masih terus dipelihara, apa yang akan terjadi adalah pengerasan sudut pandang masing-masing pihak yang enggan menjadi jalan tengah untuk menurunkan tensi. 

Ketika Ukraina terus memprovokasi Rusia dan negara-negara anggota NATO dengan bemacam narasi propaganda, krisis politik bisa jadi berlarut. 

Provokasi Zelensky

Petugas polisi berdiri di blokade setelah ledakan di Przewodow, sebuah desa di Polandia timur dekat perbatasan dengan Ukraina, pada 16 November 2022. (Foto oleh Kacper Pempel/ Reuters)
Petugas polisi berdiri di blokade setelah ledakan di Przewodow, sebuah desa di Polandia timur dekat perbatasan dengan Ukraina, pada 16 November 2022. (Foto oleh Kacper Pempel/ Reuters)

Apa yang tidak berubah adalah pernyataan propaganda Zelensky, Presiden Ukraina, yang diwarnai kebohongan sejak pertama kali Rusia menyerang Ukraina.
Dengan begitu gegabah ia mengatakan tidak percaya bahwa rudal yang menghantam Polandia diluncurkan oleh pasukannya, dan meminta ahli Ukraina untuk berperan dalam penyelidikan (CNN). 

Bahkan, beberapa setelah tragedi tersebut, Zelensky secara provokatif mengatakan:

Rudal Rusia menghantam Polandia. Berapa kali Ukraina mengatakan bahwa negara teroris tidak akan terbatas pada negara kita?... Memukul wilayah NATO dengan rudal... ini adalah serangan rudal Rusia terhadap keamanan bersama! Ini adalah eskalasi yang sangat signifikan. Dibutuhkan tindakan. (Washington Post

Provokasi yang ia lancarkan dengan mengatakan "dibutuhkan tindakan" secara terang-terangan menyarankan aksi balasan terhadap Rusia karena telah meluncurkan rudal ke Polandia, padahal tidak ada bukti atas tuduhan tersebut. 

Rupa-rupanya, kelihaiannya sebagai mantan aktor televisi benar-benar ia manfaatkan untuk membuat berita yang bisa memicu eskalasi mengerikan. 

Kepentingannya untuk menjaga posisinya dan Ukraina di mata internasional sebagai pihak teraniaya akibat serangan Rusia mendasari lahirnya bermacam pernyataan propaganda dan provokatif Zelensky. 

Selain itu, terus menghadirkan wibawa sebagai presiden yang memperjuangkan kepentingan rakyat Ukraina mendorongnya untuk terus membuat wacana di media nasional dan internasional. 

Maka, meskipun dengan begitu gegabah ia langsung menyambar hantaman rudal di Polandia sebagai mangsa empuk untuk menjatuhkan dan memperburuk nama Rusia, khususnya di mata negara-negara yang selama ini belum mengutuk tindakannya menyerang Ukraina. 

Sayang seribu kali sayang, kali ini Presiden AS dan Sekretaris Jenderal NATO tidak gegabah menanggapi tragedi rudal di Polandia ini. 

Joe Biden secara diplomatis mengatakan bahwa kemungkinan besar rudal tersebut tidak diluncurkan oleh militer Rusia (The Guardian). Pernyataan Biden ini tentu bisa memunculkan wacana negatif dan pukulan telak terhadap kegegabahan Zelensky. 

Orang-orang yang mengikuti perkembangan perang Rusia-Ukraina pasti masih ingat bagaimana Zelensky berusaha mengobarkan propaganda yang tidak jarang penuh kebohongan demi mendapatkan simpati internasional. Meskipun masyarakat internasional mengetahui penderitaan yang dirasakan rakyat Ukraina, perilaku pemimpinnya tentu mengurangi simpati politik banyak pihak.  

Kekhawatiran Global

Menanggapi kekonyolan sekaligus provokasi Zelensky, banyak pengguna media sosial yang menuduhnya ingin memulai Perang Dunia III. Komentator konservatif Benny Johnson tanpa ragu mengatakan: 

"Ukraina mencoba untuk memulai Perang Dunia III kemarin ketika sebuah rudal Ukraina menyerang negara NATO dan membunuh warga sipil tak berdosa. Para pemimpin Ukraina berbohong dan menyalahkan Rusia... Pemimpin Ukraina BERBOHONG untuk mencoba dan memulai WW3 besar-besaran. Inilah faktanya." (Newsweek)

Masih dari sumber yang sama, pemandu podcast konservatif, Matt Walsh, men-tweet bahwa Zelensky adalah psikopat paling berbahaya di muka bumi ini karena ia ingin memulai perang dunia.

Menjadi wajar kalau tragedi rudal hantam Polandia memunculkan kekhawatiran global, khususnya terkait akan berkobarnya Perang Dunia III. Bahkan, Twitter sempat diramaikan oleh kekhawatiran dan meme akan terjadinya Perang Dunia III akibat rudal di Polandia tersebut (Tribuneindia).

Kalau sampai NATO terprovokasi oleh seruan Zelensky, bisa jadi ekskalasi peperangan dengan Rusia akan segera menjadi perang di Eropa dan tidak menutup kemungkinan di negara-negara lain. Di sinilah kita bisa melihat kebajikan sikap NATO, AS, dan Polandia, meskipun mereka masih saja menyalahkan Rusia. 

Alasan utama kekhawatiran tentang eskalasi adalah Pasal V dalam Perjanjian Atlantik Utara, dokumen pendirian NATO. Pasal V menyatakan bahwa anggota NATO “setuju bahwa serangan bersenjata terhadap satu atau lebih dari mereka di Eropa atau Amerika Utara akan dianggap sebagai serangan terhadap mereka semua.” 

Dalam peristiwa seperti itu, anggota NATO wajib membantu sekutu itu dengan mengambil “tindakan yang dianggap perlu, termasuk penggunaan angkatan bersenjata” (MSNBC).

Ketidakgegabahan NATO, AS, dan Polandia menjadikan eskalasi tidak sampai mengkhawatirkan. Tentu saja, sikap politik mereka didukung oleh realitas bahwa sulit mengatakan Rusia meluncurkan rudal ke Polandia. 

Selain itu, sikap bijak Polandia yang berusaha menghindari perang dengan mengutamakan konsultasi dengan anggota NATO perlu diapresiasi. 

Ke depan, pendekatan diplomatis berbasis kemanusiaan dan mengurangi perspektif Rusofobia merupakan alternatif untuk menyelesaikan perang Rusia-Ukraina. Kengototan, propaganda, dan provokasi hanya akan menghasilkan ketidakmenentuan. Korban dari itu semua adalah rakyat sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun