Dampaknya, ketika rezim tersebut tumbang, banyak warga negara yang tidak ingin memperhatikan secara serius apa-apa yang berlangsung secara massif di era Orde Baru. Â Penolakan terhadap kebijakan dan praktik yang berkaitan dengan rezim Orde Baru, menjadi faktor utama mengapa Pancasila banyak diabaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Lebih-lebih, terjadi proses mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan massif, sehingga tak jarang mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah dikatakan "tidak Pancasilais," "anti-Pancasila," dan, bahkan, seringkali dilabeli "komunis".Â
Penguasa menggunakan instrumen Pancasila untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan. Dampaknya, ketika rezim Orde Baru tumbang, berlangsung upaya demistifikasi terhadap Pancasila sebagai ornamen dan instrumen politik penguasa sebelumnya.Â
Tidak berlebihan kalau banyak pihak mengatakan bahwa pada masa Orde Baru, berlangsung penyalahgunaan Pancasila secara massif di tengah-tengah indoktrinasi yang dilakukan rezim kepada aparatur negara dan rakyat (Welianto, 2021).Â
Pertama, berbagai macam praktik penyimpangan dan beragam kebijakan yang berlindung di balik fungsi Pancasila sebagai dasar negara. Kedua, penyimpangan terhadap prinsip kekeluargaan di mana Suharto lebih banyak memilih orang-orang terdekatnya untuk menguasai usaha-usaha strategis negara, seperti pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya mineral.Â
Bahkan, anak-anaknya juga terlibat dalam jaringan bisnis dengan memanfaatkan fasilitas Suharto sebagai kepala negara. Ketiga, kritik terhadap Suharto, keluarga, dan kroninya dilarang dengan argumen mengganggu program pembangunan. Padahal, Pancasila jelas-jelas menghormati perbedaan pendapat yang diwujudkan dalam bentuk kritik terhadap pemerintah.Â
Yang menjadikan publik kecewa adalah bagaimana rezim Orde Baru memobilisasi butir-butir Pancasila sebagai kebenaran dalam banyak ruang dan praktik kehidupan warga negara.Â
Pemerintah mewacanakan bermacam kebaikan Pancasila sebagai dasar negara dan  identitas bangsa untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar menjalankannya secara menyeluruh dan konsekuen. Sebagian besar warga negara pun mengikuti apa-apa yang diperintahkan pemerintah dalam hal pengamalan Pancasila.Â
Namun, yang sangat menyakitkan adalah ketika warga negara diminta untuk menjalankan Pancasila, banyak penyelewengan yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Masyarakat diminta untuk hidup hemat, tetapi keluarga Suharto dan kroninya hidup bergelimang harta dengan cara korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dibungkus banyak peraturan.Â
Temuan-temuan penting pasca lengsernya Suharto, 1998, dengan terang-benderang menunjukkan betapa korupnya penguasa ini bersama keluarga dan kroni-kroninya. Transparancy International pada tahun 2004 mengungkap bahwa perkiraan dana yang terkumpul dari korupsi Suharto adalah 15-25 miliar dolar AS, sehingga ia dijuluki "diktator terkorup di dunia".Â
Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia, menamai praktik korupsi Suharto sebagai grand corruption karena dilakukan secara sistemik, terstruktur, dan rapi; melibatkan aparat negara dan dibungkus dengan peraturan yang legal (Rini, 2014)).Â