Dia tidak mau menjadikan tubuh dan pikiran Pekacar sebagai pembawa pesan instan dari sebuah permasalahan complicated. Alih-alih, Pekacar sebagai subjek yang sudah terbiasa dengan narasi kehebatan dan kekeramatan Buyut Kayon membawa mimpinya ke dalam mekanisme tradisional-mistis-psikoanalitik; memohon tafsir kepada juru kunci, Wak Karjan.
Mimpi bagi manusia-manusia Jawa merupakan perlambang atau penanda yang harus dicari maksudnya. Apalagi mimpi Pekacar berkaitan dengan hilangnya Kayon Buyut.
Dari Wak Karjan ia tahu bahwa Sadagora adalah nama lain Dalang Panjimas semasa hidupnya. Menanggapi mimpi itu Wak Karjan mengatakan bahwa Pekacar akan segera mendapatkan pulung, semacam rezeki berlimpah yang berkaitan dengan jabatan tertentu.
Ternyata, apa yang diomongkan Wak Karjan ternyata benar. Dua hari sesudah pertemuan itu, Pekacar dipanggil ke kecamatan: mendapat anugrah sebagai Pemuda Pelopor. Anugerah ini merupakan penghargaan yang diberikan kepada kaum muda atas dedikasi dan pengabdian mereka kepada masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Bagi Pekacar yang sehari-hari setia menyapu Kebuyutan dan menyajikan makanan dan minuman kepada para pengunjung, penghargaan tersebut tentu sangat berharga, membanggakan secara personal maupun komunal.
Penghargaan juga menjadi bentuk apresiasi dan kehadiran formal Negara dalam memaknai perjuangan individual yang berkontribusi kepada permasalahan dan pengembangan potensi di masyarakat. Si pelaku monolog pun mengekspresikan kegembiraan itu, tetapi tidak dalam waktu lama. Monolog pun berakhir.
Kritik terhadap Pemahaman Budaya Lokal
Bagi saya, ending monolog menyampaikan wacana dengan bentuk open plot. Berawal dari “pencurian” berakhir dengan “penghargaan”. Pencurian yang dilakukan, meskipun hanya dalam mimpi, merupakan resistensi diskursif terhadap kesalahpahaman warga masyarakat maupun Negara terhadap keberadaan budaya warisan leluhur.
Budaya warisan leluhur bukanlah sesuatu yang hanya dipandang dan dikagumi, tetapi juga harus dipahami makna-makna terdalamnya serta disebarluaskan sebagai wacana dan pengetahuan yang bisa berdampak secara psikis dan praksis kepada banyak subjek. Kalau tidak bisa seperti itu, mungkin lebih baik budaya warisan leluhur hilang atau musnah.
Apalagi kalau hanya menjadi barang dagangan yang berharga mahal bagi para kolektor atau penikmat berduit, tetapi tidak bisa menjadi kekuatan kultural bagi warga masyarakat. Di sinilah posisi kritik dimainkan oleh monolog ini.
Pelaku monolog dengan kemampuan ekspresif dan artikulatifnya dalam memainkan beberapa tokoh menjadikan konstruksi wacana bisa mengalir dalam jalannya pertunjukan. Kemampuan berpindah dari formasi pengeramatan dan penghormatan menuju formasi pemahaman-ulang bisa dirasakan dengan asyik.