Dalam kacamata modern, peristiwa ini merupakan bentuk irasionalitas yang bisa dianggap mengungkung pikiran warga desa sehingga mereka tidak bisa merasakan kemajuan hidup secara maksimal. Namun, semua yang dilakukan dan diomongkan si pelaku tidak pernah mempersoalkan stigma tersebut, karena ia sendiri menjadi bagian dari keyakinan komunal tersebut.
Wacana “nilai Kebuyutan dan Kayon Buyut” bukanlah sesuatu yang harus dimarjinalisasikan karena warga desa memiliki pandangan dunia yang masih menempatkan eksistensi ketradisionalan sebagai bagian dari dinamika kehidupan mereka. Dalam konteks kekinian, tidak semua masyarakat Jawa meninggalkan ajaran leluhur untuk menghormati makam para pendiri desa.
Di banyak desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih banyak makam keramat yang dihormati oleh warga. Dalam bentuk lain, makam para Wali Songo, penyebar agama Islam di Pulau Jawa, masih ramai dikunjungi para peziarah. Ini membutkikan bahwa masih banyak warga masyarakat yang menghormati para leluhur, baik yang bermaksud mendoakan ataupun berdoa untuk mendapatkan kebaikan.
Dalam proses pencarian itulah, Pekacar bertemu dengan binatang-binatang mitologis dan banyak figur yang biasa ia junpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam adegan-adegan ini, kualitas teaterikal-monolog siswa perempuan yang memerankan bermacam tokoh dan bermacam gerak tubuh kontekstual patut diapresiasi.
Ia bertemu dengan buaya besar, Bajol, yang hendak menerkamnya. Beruntunglah ia membawa golok Cemot. Dan ketika ia memanggil nama, “Mak”, buayapun menghilang secara ghaib dan di hadapannya berdiri Kang Samedin, Jagabaya Desa. Kang Samedin pun membantunya memasang daun pisang sebagai tambakayon. Tidak begitu lama, si pelaku mengatakan bertemu ular sanca besar.
Kang Samedin berkelahi dengan ular sanca dan hampir saja kalah. Pekacar melemparkan golok Cemot nya dan Kang Samedin menggunakannya untuk melukai kedua mata si sanca. Tidak lama kemudian, ular sanca pun menghilang secara ghaib, berganti Sawitri, salah satu perempuan muda yang suka angon (menggembala) sapi. Bertiga mereka menuju Pulau Cemani yang cukup dikeramatkan itu.
Perjuangan menemukan Kayon Buyut bukanlah proses mudah. Ada banyak hambatan. Begitupula perjuangan untuk menemukan dan mempertahankan budaya lokal di tengah-tengah arus besar perubahan zaman. Mata rantai peristiwa yang dialami Pekacar adalah representasi kesulitan internal yang seringkali muncul dari pikiran dan batin para penerus atau pewaris sebuah tradisi.
Buaya dan ular sanca hanyalah makhluk yang berasal dari diri Pekacar sendiri. Sebuah permasalahan yang seringkali muncul dan menjadi kendala utama dalam pemertahanan budaya lokal, selain kuatnya budaya modern dan kurangnya perhatian Negara, adalah ketidakberdayaan untuk meneruskan warisan leluhur.
Dalam hal ini, si perempuan muda memilih untuk mengatasi masalah itu dan menumbuhkan keseriusan dalam berjuang. Keseriusan itulah yang akan membuat subjek bertahan meskipun secara diskursif dan praksis tidak menguntungkan. Bagaimanapun juga, usaha pemertahanan bukanlah persoalan sepele.
Sehari-hari anak-anak, kaum remaja, kaum muda, dan, bahkan, orang dewasa, sudah terbiasa mengkonsumsi budaya televisi dan budaya internet serta gaya hidup modern. Mempertahakan hal-hal tradisional dan arkaik bisa jadi tidak menarik dan tidak menguntungkan secara finansial.
Apalagi segala yang berbau tradisional hanya menjadi klangenan. Wajar kalau hari demi hari pewaris dan penikmat budaya lokal semakin berkurang. Pada titik itulah, Pekacar berada dalam pilihan “memperjuangkan budaya lokal” dalam kerangka pemertahanan yang tidak mudah. Pilihan itu memosisikan subjektivitas yang berbeda dari kecenderungan umum dalam masyarakat.