Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Perjuangan dan Siasat Petani Tembakau dalam Pertunjukan "Bhekoh"

7 November 2022   11:09 Diperbarui: 7 November 2022   19:20 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni instalasi akar yang dibuat dari daun tembakau kering. Dokumentasi penulis

Di tengah-tengah upaya pembatasan rokok melalui bermacam regulasi Negara, para petani dan buruh tembakau mengalami kompleksitas masalah yang menjadikan mereka sebagai pihak yang kurang beruntung. Meskipun cukai rokok masih saja menjadi salah satu andalan devisa Negara, kehidupan petani dan buruh tani tembakau masih saja dililit bermacam masalah. 

Dewan Kesenian Kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, pada 15 Desember 2019, menggelar pertunjukan kolaboratif berjudul "Bhekoh" yang mengetengahkan perjuangan dan siasat kaum petani dan buruh tani tembakau untuk bisa survive. Tulisan ini merupakan apresiasi dan kritik terhadap pertunjukan tersebut. 

Memasuki Bhekoh

Bagian depan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember, 15 Desember 2019, dipenuhi seni instalasi dalam wujud akar yang terbuat dari daun tembakau kering yang dirangkai, menyulur lebih dari 10 meter. Bagi saya, ini merupakan "pengantar" bagi pertunjukan kolaboratif Bhekoh (Tembakau) oleh Dewan Kesenian Kampus (DKK) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. 

Seni instalasi akar yang dibuat dari daun tembakau kering. Dokumentasi penulis
Seni instalasi akar yang dibuat dari daun tembakau kering. Dokumentasi penulis

Sejak awal, tim kreatif pertunjukan ini ingin membawa imajinasi penonton ke dalam jagat petani dan buruh tani tembakau yang berliku dan rumit. Di bagian samping pintu masuk PKM dipasang lukisan yang menghadirkan "pusaran daun kering" yang juga merepresentasikan persoalan tembakau yang melibatkan petani dan subjek lain dalam mata rantai produksi dan konsumsi. 

Banyak cerita keindahan tentang "emas hijau" yang menjadi andalan komoditas Jember sejak era kolonial hingga masa kini. Namun, semua kalkulasi ekonomi seringkali mengabaikan kompleksitas permasalahan yang dialami oleh para petani dan buruh tani.

Pilihan untuk menghadirkan seni instalasi dan lukisan bisa dibaca sebagai kecerdasan kreatif yang mengajak penonton untuk membangun asumsi akan maksud pertunjukan. Selain itu, dalam perspektif formasi wacana, instalasi dan lukisan itu menjadi bagian dari wacana jagat pertembakauan yang akan disajikan dalam pertunjukan kolaborati: drama, tari, dan musik. 

Harus saya akui, kesadaran untuk memanfaatkan ruang depan yang menghadirkan tuturan visual yang bisa menggiring asumsi ataupun opini tertentu. Tentu saja, pemahaman demikian membutuhkan kepekaan kreatif dan kritis atas teks yang disajikan. Semua teks kultural merupakan arena untuk memroduksi wacana yang berkelindan dengan kondisi masyarakat.

Secara sadar tim kreatif menyuguhkan wacana yang dikonstruksi dari tanda-tanda visual dalam seni instalasi dan lukisan. Wacana-wacana tersebut berkontribusi pada pembentukan pengetahuan terkait dunia pertembakauan. Asumsi itulah yang secara sadar saya bawa ketika dipersilahkan oleh MC untuk memasuki ruang pertunjukan bersama penonton lain.

Dunia Bhekoh, Dunia Siasat

Empat perempuan muda melakukan gerakan tari yang rancak dan lincah. Mereka adalah para buruh tani yang menikmati proses mengelola daun tembakau, setelah dipanen dari lahan. Sebagai penggambaran dari proses dalam kehidupan nyata, kelincahan para penari memang menghadirkan suasana ketika warga petani dan buruh tani mengelola daun tembakau. 

Buruh tani menari di awal pertunjukan. Dokumentasi penulis
Buruh tani menari di awal pertunjukan. Dokumentasi penulis

Kegembiraan dan kebahagiaan menjadi atmosfer yang dengan jelas tergambar karena mereka akan segera mendapatkan hasil dari jerih-payah dalam merawat tembakau. Para petani sudah mengeluarkan uang banyak untuk menyukseskan usaha penanaman tembakau. 

Wajar para petani membayangkan atau memimpikan hasil yang menguntungkan. Bermacam kebutuhan keluarga akan terbantu dengan keuntungan dari penjualan daun tembakau. Adapun para perempuan buruh tani sudah membayangkan upah dari proses pengelolaan tembakau pasca panen untuk mencukupi keperluan sehari-hari ataupun membayar hutang.

Sebagai sajian tari, keempat perempuan buruh tani memang berhasil menyuguhkan atmosfer kegembiraan dengan gerakan tangan, kaki, dan kepala yang lincah, serta memenuhi semua komposisi tubuh, dari berdiri, setengah berdiri, dan melantai. Sayangnya, gerakan tari yang ditawarkan memang masih berupa "gerakan indah dan lincah". 

Tentu saja itu tidak menjadi masalah karena tubuh buruh tani adalah tubuh yang lincah meskipun seringkali dipandang kurang indah. Kelincahan yang dihadirkan para pemeran perempuan buruh tani adalah "tubuh substansial" yang bisa melakukan banyak hal dalam kerja-kerja pertanian. Dalam gerakan tari grouping lainnya, para penari masih menikmati gerakan "indah dan lincah". 

Dalam konteks tersebut, kekurangkreatifan koreografer/sutradara untuk mengeksplorasi gerakan yang keluar dari pakem "gerakan tari indah" memang layak dikritisi. Ketika tim kreatif memiliki waktu observasi yang lebih lama serta telaah yang lebih kreatif dan kritis, mereka bisa menemukan karakteristik tubuh perempuan buruh tani dalam menjalani aktivitas pertembakauan.

Mereka adalah subjek yang memiliki kekuatan dan keliatan di tengah-tengah ketidakberdayaan ekonomi. Mereka adalah para perempuan yang memiliki tanggung jawab keluarga. Mereka adalah subjek yang disubordinasi dalam sistem patriarki, tetapi tidak sepenuhnya diam dan pasrah. Karakteristik itulah yang seharusnya dihadirkan dalam gerak tari para perempuan buruh tani.

Pendalaman melalui penelitian etnografis dan penelusuran referensi bisa menjadi pintu masuk untuk mendapatkan karakteristik tubuh, permasalahan, dan harapan para perempuan buruh tani yang bisa menjadi dasar untuk menubuhkannya dalam gerakan tari. Tentu, tahapan ini menantang para penggiat kesenian di kampus karena jarang yang mau melakukannya. 

Tengkulak merayu petani tembakau. Dokumentasi penulis
Tengkulak merayu petani tembakau. Dokumentasi penulis

Tidak hanya berhenti pada kegembiraan dan kebahagiaan menanti hasil panen, pertunjukan ini juga menghadirkan adegan-adegan drama berwarna realis tentang bagaimana keberadaan tengkulak dalam kehidupan petani. Seorang perempuan petani tembakau, Sariah, hidup sebagai janda yang mengelola lahan tembakau dibantu oleh para perempuan buruh tani. 

Sariah harus menjalani kondisi ini karena suaminya pergi entah kemana, meninggalkan anak semata wayang yang sering sakit dan membutuhkan biaya besar. Daun tembakau menjadi andalan Sariah untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anaknya. Masalahnya, tengkulak bermuka manis selalu mematok harga yang tidak memberi keuntungan maksimal kepada petani. 

Rumus ini menjadi kelaziman karena si tengkulak juga ingin mendapatkan profit sebesar-besarnya. Sekuat apapun Sariah berusaha untuk menaikkan harga jual tembakau keringnya, tengkulak tetap memaksakan marjin keuntungan maksimal. Bahkan, kepada Sariah dan Monah, perempuan petani tembakau lainnya, si tengkulak menawarkan bibit tembakau yang ia klaim super. Jadi si tengkulak ingin mendapatkan keuntungan berlipat ganda. 

Tengkulak menawarkan bibit tembakau baru. Dokumentasi penulis
Tengkulak menawarkan bibit tembakau baru. Dokumentasi penulis

Bagi para penikmati apa yang dikatakan sendratari, kehadiran drama secara verbal yang melibatkan percakapan dan acting bisa saja mengganggu kemapanan pola pikir dan kenikmatan menonton mereka yang sudah terbiasa dengan gerakan-gerakan tari indah. Meskipun bukan hal yang baru dalam pertunjukan kolaboratif, pilihan menghadirkan beberapa fragmen harus dibaca sebagai keberanian kreatif sutradara/koreografer serta tim kreatif karena bukan bentuk yang lazim di Jember. 

Meskipun memiliki kelemahan penggunaan adegan drama memiliki keuntungan, khususnya dalam menyamapaikan wacana yang dihadirkan dalam keseluruhan pertunjukan. Moda realis yang dipilih untuk adegan yang melibatkan tengkulak dengan perempuan petani, tengkulak dengan pembantunya, petani dengan para perempuan buruh tani, ataupun sesasama buruh petani perempuan. 

Percakapan ketika tengkulak merayu Monah untuk membeli bibit atau ketika ia menyatakan cinta, menghadirkan wacana kekuasaan patriarkal yang dimainkan dalam ranah profesional maupun kultural. Dalam aspek profesional, penerapan prinsip ekonomi untuk membeli harga murah dari petani tembakau menjelaskan "wacana kecurangan tengkulak" dan "kerugian petani" sehingga mereka harus bersusah payah untuk menutup semua kebutuhan yang dibutuhkan selama perawatan tanaman. 

Sementara, dalam hal cinta, kepemilikian uang berlimpah memunculkan keyakinan diri pada si tengkulak untuk menyatakan cintah ke Monah, meskipun si perempuan petani menolaknya. Wacana-wacana itu memudahkan penonton untuk menebak makna dan wacana yang disampaikan dalam gerak tari lain dalam pertunjukan Bhekoh. 

Si tengkulak merayu Monah. Dokumentasi penulis
Si tengkulak merayu Monah. Dokumentasi penulis

Penegasan permasalahan yang dihadapi petani dengan gamblang dimunculkan dalam gugatan-gugatan kecil Sariah terhadap si tengkulak. Ketika mengetahui tembakau yang berasal dari bibit yang ia beli dari tengkulak dihargai murah, Sariah tidak terima dan mencoba untuk bernegosiasi. 

Namun, si tengkulak dengan kuasanya tetap saja tidak bergeming. Meskipun ia sudah menaikkan harga, tetapi Sariah tetap tidak bisa menerimanya. Logika perlawanan perempuan petani tembakau dihadirkan untuk menegaskan bahwa Sariah dan juga petani-petani lain sudah seharusnya memiliki keberanian, karena merekalah yang memiliki tembakau, bukan tengkulak. 

Apa yang harus dicatat dari Sariah adalah tujuannya untuk segera membawa anaknya berobat sebagai kesadaran seorang ibu. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, ia bertanggung jawab sepenuhnya atas kesehatan buah hatinya. Karena biaya rumah sakit yang tidak murah, satu-satunya jalan adalah menaikkan harga jual tembakau pascapanen. 

Di sinilah, ada produksi pengetahuan ke-ibu-an (mothering) yang diposisikan sebagai kekuatan esensial sekaligus substansial ketika menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh kekuasaan patriarkal, baik dalam relasi pernikahan maupun profesional. Sariah adalah korban dari kebrengsekan suaminya, tetapi ia tidak mau menyerah dengan mengabaikan anaknya. 

Sebagai ibu, ia memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan kehidupan buah hatinya. Dan, melawan kesewenang-wenangan tengkulak menjadi pilihan, meskipun itu juga tidak berakhir dengan kebebasannya.

Perlawanan terhadap kekuasaan tengkulak juga dilakukan oleh Monah. Merasa sudah diberikan janji indah oleh si tengkulak ia menunut harga tinggi. Sayangnya, keberaniannya menolak cinta si tengkulak harus dibayar mahal. Harga yang ditawarkan tengkulak jauh dari ekspetasinya. Ini yang membuatnya marah. 

Namun, ia tidak bisa berbuat banyak kecuali mencari tengkulak lain yang mau membeli lebih mahal. Motivasi untuk mendapatkan keuntungan berlimpah agar kehidupan pribadinya bisa makmur, mendorong Monah untuk melakukan tindakan tegas, tetapi tidak sampai harus mengorbankan harga diri dan cintanya. 

Sekuat apapun hasratnya, masih ada nalar perempuan tegas dan kuat yang melekat pada tubuh dan pikirannya. Tubuh Monah, juga tubuh Sariah, adalah tubuh merdeka karena mereka memiliki keleluasaan dalam mengusahakan dan memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. 

Mereka tidak bergantung kepada pihak lain. Kalaupun Monah harus menerima kenyataan bahwa tembakaunya dihargai murah oleh si tengkulak, setidaknya ia tidak harus menyerahkan cinta dan tubuhnya kepada si lelaki pembohong itu.

Bagi Sariah, "fase batiniah" harus ia tempuh untuk menumbuhkan kekuatan pasca permainan harga yang dilakukan si tengkulak terhadap tembakaunya. Bagaimanapun juga, melawan tengkulak memang tidak mungkin bisa dilakukan secara mutlak, dalam artian mengabaikan keberadaannya dalam jagat pertembakauan. 

Penari yang menggambarkan fase batiniah Sariah. Dokumentasi penulis
Penari yang menggambarkan fase batiniah Sariah. Dokumentasi penulis

Sariah dan banyak petani harus menjalani tahapan bertemu tengkulak sebagai bagian dalam mata rantai  pertembakauan yang bisa dikendalikan petani. Harga masih ditentukan oleh permintaan pabrik yang masih dimanfaatkan perantara tengkulak untuk mengambil marjin keuntungan. 

Menjadi wajar kalau Sariah harus mengalami fase batiniah yang digambarkan dengan adegan tari yang menghantarkan pada kontemplasi untuk menentukan apa yang harus ia lakukan. Si penari adalah representasi dari pergulatan batin dan pemikiran Sariah untuk menemukan solusi permasalahannya ketika si tengkulak tak mau lagi membeli tembakau yang bibitnya berasal dari dirinya. 

Fase kontemplasi-via-tari ini menjadi bentuk perjuangan mental yang harus dilakoni petani ketika mereka dituntut untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dalam mata rantai tersebut.  Pada, akhirnya, Sariah menelepon tengkulak lain yang ia harapkan menawarkan harga lebih mahal. Panggilan telepon tersebut menutup pertunjukan sekaligus menawarkan plot terbuka. 

Dalam tafsir kritis, semua adegan tari, drama, dan musik, pada akhirnya, bermuara pada perpindahan dari satu tengkulak ke tengkulak lain. Dunia pertembakauan tidak pernah berpihak secara maksimal kepada para petani karea selalu ada celah dan kesempatan yang dimainkan oleh tengkulak. 

Ada lorong panjang berliku yang harus dijalani oleh mereka. Ada banyak drama yang harus mereka hadapi dalam merawat dan menjual tembakau. Ada banyak kebahagiaan yang diimpikan. Namun, apapun kondisinya, semua berpulang kembali kepada mereka yang mengendalikan perdagangan tembakau yang tidak berpusat pada petani. 

Dalam kondisi demikian, saya melihat tim kreatif pertunjukan kolaboratif tidak hendak mengatakan bahwa belenggu tengkulak adalah takdir petani. Apa yang diungkapkan oleh para pelaku dalam Bhekoh adalah bahwa dunia pertembakauan bagi petani mewujud sebuah kompleks. 

Mereka ingin mendapatkan banyak keuntungan untuk memenuhi semua harapan dan kebutuhan, tetapi para petani masih harus menunggu semua keputusan pengusaha yang akan diturunkan kepada keputusan para tengkulak. Dalam kondisi subordinat tersebut, para petani memang harus pandai-pandai bersiasat, termasuk mencari tengkulak yang lebih masuk akal dalam menawar harga. 

Bekerja sawah, menanam tembakau. Dokumentasi penulis
Bekerja sawah, menanam tembakau. Dokumentasi penulis
Pengungkapan belenggu tengkulak memunculkan banyak wacana yang memroduki pengetahuan terkait pertembakauan yang menyiksa petani, tetapi tidak membuat mereka kapok karena dari tembakaulah mereka bisa survive.  

Di sinilah, kita bisa melihat keberanian tim kreatif Bhekoh untuk berbicara dengan drama dan adegan tari yang berbeda dari tari-tari garapan sebelumnya seperti Lahbako dan Petik Kopi yang masih mengandalkan gerakan tubuh indah. Mereka tidak berhenti pada tari-tari garapan yang sandaran kultural dan sosiologisnya kurang kuat, karena hanya melihat visualitas aktivitas pertanian, tetapi belum pada dimensi terdalam kehidupan subjek di dalamnya. 

Pada titik itulah, meskipun masih banyak kekurangan dalam hal persentase gerak tari garapan dan drama atau dalam hal pendalaman karakter, Bhekoh berani menawarkan kebaruan sudut pandang kepada para penggiat kesenian, bukan mengulangi gerakan-gerakan indah semata, tanpa berani mengungkap akar permasalahan yang sebenarnya. 

Bahwa, sebuah karya, sesederhana apapun, tetap menampilkan wacana yang terhubung dengan permasalahan masyarakat. Maka, bisa dikatakan, Bhekoh mampu merintis jalan bagi munculnya pertunjukan kolaboratif berdimensi sosio-kultural, ekonomi, dan politik yang bersumber pada persoalan lokalitas.

Memaknai Kostum 

Apa yang menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah kostum. Para penari dan pelaku drama menggunakan kostum keseharian. Para penari, misalnya, mengenakan kaos lengan panjang yang biasa dipakai buruh tani ketika berada di sawah. Pilihan ini mendobrak tradisi kostum glamor yang biasa dikenakan para penari. 

Bahwa pertunjukan tari tidak harus selalu mahal di kostum. Bahwa dengan kaos sehari-hari, para pelaku bisa menghasilkan pertunjukan kontekstual. Pilihan moda realis, memang membawa tim kreatif untuk tidak berlebihan mengenakan kostum. Selain itu, dari pilihan kostum tersebut, kita bisa membaca beberapa wacana. 

Tengkulak pun ikut menari. Dokumentasi penulis
Tengkulak pun ikut menari. Dokumentasi penulis

Pertama, sutradara/koreografer dan tim kreatif ingin menawarkan wacana "keberjalin-kelindanan" teks pertunjukan kolaboratif dengan permasalahan sehari-hari yang harus bisa dijembatani, tidak hanya pada model garapan, tetapi juga kostum. Kostum menjadi sebuah jembatan kultural untuk memasuki dunia diskursif yang membentuk pengetahuan pertembakauan. 

Kedua, kostum kontekstual akan mengatasi persoalan biaya yang seringkali menjadi masalah bagi komunitas. Maka, terobosan kecil dalam pertunjukan kolaboratif ini bisa menjadi acuan bagi para penggiat seni di Jember dalam memahami keberadaan kostum. 

Ketiga, kostum bukanlah sedekar bahasa pertunjukan yang digunakan untuk melengkapi pertunjukan dengan aspek keindahan dan keglamoran. Adalah hal yang umum di Jember, semua pertunjukan tari garapan ataupun sendratari tidak bisa dilepaskan dari kostum mewah. Rasanya sudah menjadi semacam kewajiban estetik. 

Ironisnya, kostum sekedar menjadi kebutuhan sekunder yang tidak berkaitan apa-apa dengan wacana yang dikonstruksi dalam tarian. Yang lebih buruk lagi adalah implikasi estetik kepada garapan yang harus menyesuaikan keglamoran kostum, sehingga lebih banyak garapan yang masih terjebak pada tubuh dan gerakan indah. 

Tentu itu tidak bermaksud mengatakan bahwa kostum glamor hanya menghasilkan garapan indah, bukan garapan konstekstual yang terikat dengan kondisi historis. Titik tekannya adalah bahwa keterjebakan pada kostum glamor tanpa mau melakukan pendalaman konstekstual terhadap tema garapan hanya menghadirkan wacana keindahan, bukan wacana sosio-kultural.  

Maka, selain masih banyak kekurangan koreografis dan mekanisme pengadeganan, pertunjukan Bhekoh adalah sebuah keberanian esktetik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru penciptaan multirupa yang terkoneksi dengan kondisi historis sekaligus mengatasi hambatan-hambatan teknis dan biaya dalam penggarapan. 

Harapannya, akan muncul kreativitas baru yang tidak terjebak pada pakem tubuh indah dan pakaian glamor. Kreativitas tersebut bisa terus berkembang kalau para pelaku seni berani melakukan observasi untuk menemukan banyak peristiwa, banyak tubuh, banyak masalah, banyak harapan, banyak gerak, dan, bahkan, banyak tangis, yang bisa menjadi sumber lahirnya karya-karya kultural. 

Membaca banyak referensi akan memperkaya otak untuk mendukung lahirnya keberanian dalam berkarya. Para pelaku memiliki tugas peradaban untuk memroduksi pengetahuan, sehingga mereka harus siap, sesederhana apapun, untuk menawarkan wacana-wacana berbasis realitas kepada para penikmat; bukan lagi hasrat untuk menjadi manusia paling indah dalam hal tubuh dan gerak.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun