Bahwa pertunjukan tari tidak harus selalu mahal di kostum. Bahwa dengan kaos sehari-hari, para pelaku bisa menghasilkan pertunjukan kontekstual. Pilihan moda realis, memang membawa tim kreatif untuk tidak berlebihan mengenakan kostum. Selain itu, dari pilihan kostum tersebut, kita bisa membaca beberapa wacana.Â
Pertama, sutradara/koreografer dan tim kreatif ingin menawarkan wacana "keberjalin-kelindanan" teks pertunjukan kolaboratif dengan permasalahan sehari-hari yang harus bisa dijembatani, tidak hanya pada model garapan, tetapi juga kostum. Kostum menjadi sebuah jembatan kultural untuk memasuki dunia diskursif yang membentuk pengetahuan pertembakauan.Â
Kedua, kostum kontekstual akan mengatasi persoalan biaya yang seringkali menjadi masalah bagi komunitas. Maka, terobosan kecil dalam pertunjukan kolaboratif ini bisa menjadi acuan bagi para penggiat seni di Jember dalam memahami keberadaan kostum.Â
Ketiga, kostum bukanlah sedekar bahasa pertunjukan yang digunakan untuk melengkapi pertunjukan dengan aspek keindahan dan keglamoran. Adalah hal yang umum di Jember, semua pertunjukan tari garapan ataupun sendratari tidak bisa dilepaskan dari kostum mewah. Rasanya sudah menjadi semacam kewajiban estetik.Â
Ironisnya, kostum sekedar menjadi kebutuhan sekunder yang tidak berkaitan apa-apa dengan wacana yang dikonstruksi dalam tarian. Yang lebih buruk lagi adalah implikasi estetik kepada garapan yang harus menyesuaikan keglamoran kostum, sehingga lebih banyak garapan yang masih terjebak pada tubuh dan gerakan indah.Â
Tentu itu tidak bermaksud mengatakan bahwa kostum glamor hanya menghasilkan garapan indah, bukan garapan konstekstual yang terikat dengan kondisi historis. Titik tekannya adalah bahwa keterjebakan pada kostum glamor tanpa mau melakukan pendalaman konstekstual terhadap tema garapan hanya menghadirkan wacana keindahan, bukan wacana sosio-kultural. Â
Maka, selain masih banyak kekurangan koreografis dan mekanisme pengadeganan, pertunjukan Bhekoh adalah sebuah keberanian esktetik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru penciptaan multirupa yang terkoneksi dengan kondisi historis sekaligus mengatasi hambatan-hambatan teknis dan biaya dalam penggarapan.Â
Harapannya, akan muncul kreativitas baru yang tidak terjebak pada pakem tubuh indah dan pakaian glamor. Kreativitas tersebut bisa terus berkembang kalau para pelaku seni berani melakukan observasi untuk menemukan banyak peristiwa, banyak tubuh, banyak masalah, banyak harapan, banyak gerak, dan, bahkan, banyak tangis, yang bisa menjadi sumber lahirnya karya-karya kultural.Â
Membaca banyak referensi akan memperkaya otak untuk mendukung lahirnya keberanian dalam berkarya. Para pelaku memiliki tugas peradaban untuk memroduksi pengetahuan, sehingga mereka harus siap, sesederhana apapun, untuk menawarkan wacana-wacana berbasis realitas kepada para penikmat; bukan lagi hasrat untuk menjadi manusia paling indah dalam hal tubuh dan gerak. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H