Meskipun kelas dominan memiliki bermacam sumberdaya ekonomi dan ideologis dalam menjalankan dan menyebarluaskan kepemimpinan mereka melalui budaya populer, termasuk film dan televisi, sangat mungkin muncul kekuatan subordinat-resistan dari para sineas yang mengkritisi atau mengsubversi kemapanan ideologi dan kuasa hegemonik.Â
Hal itu menunjukkan bahwa hegemoni selalu mengedepankan negosiasi dan bersifat tidak stabil sehingga memungkinkan berlangsungnya evaluasi dan artikulasi baru yang dilakukan kelompok resisten.Â
Para sineas Indonesia, misalnya, memroduksi film-film yang menarasikan usaha tokoh-tokoh perempuan dalam kompleksitas permasalahan masing-masing demi memunculkan kesadaran untuk memperjuangkan kesetaraan jender.Â
Artinya, ketika relasi kuasa dalam sebagian besar film dan tayangan televisi Indonesia masih menegosiasikan dan memapankan ideologi dan kepentingan patriarkal, mulai berkembang pula usaha-usaha naratif dan diskursif untuk menawarkan pemahaman ideologi baru yang berbasis kesetaraan jender.Â
Dari Cinta hingga Nasionalisme
Sebagai ilustrasi, artikulasi dan perayaan kaum muda dalam film-film Indonesia era 2000-an memang memberi keleluasaan bagi para perempuan muda untuk dinarasikan dalam praktik penandaan dan diskursif yang bukan sekedar sebagai pelengkap jagat laki-laki, tetapi mereka sudah menjadi subjek yang menceritakan diri secara bebas.Â
Kebebasan ini, nyatanya, tetap dibatasi dengan kehadiran laki-laki dan cinta yang menunda semua 'keliaran hasrat' perempuan dan kembali menegasan kuasa patriarkal (Setiawan, 2008). Film Ada Apa Dengan Cinta (sutradara Rudy Sujarwo, 2001), misalnya, menyuguhkan makna kedinamisan hidup para tokoh perempuan dalam menikmati dan merayakan kehidupan metropolis.Â
Sekilas ada suara-suara feminis dalam banyak adegan yang dilakukan oleh Cinta dan gank-nya. Namun, itu semua hanya menjadi bentuk artikulasi terhadap trend remaja perempuan dinamis dalam kehidupan metropolitan belaka, sehingga mereka merasa sudah dihadirkan dalam kontruksi wacana film.Â
Ketika Rangga hadir dalam kehidupan Cinta, semua idealisasi tersebut perlahan dikendalikan-kembali oleh cinta seorang lelaki yang begitu perhatian dan sayang. Akibatnya, sedinamis apapun seorang Cinta, tetap saja ia harus mengakui arti penting seorang Rangga. Rangga adalah representasi dari patriarki yang dimasukkan melalui kisah cinta remaja metropolitan.Â
Artinya, di tengah-tengah gelombang perubahan cara pandang peran laki-laki dan perempuan serta semakin bebasnya gaya hidup metropolitan, patriarki masih menjadi kelompok sosial yang terus menegosiasikan kuasa hegemonik mereka secara lentur dan karya-karya naratif yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif dalam kehidupan nyata.
Meskipun kebanyakan film remaja era 2000-an masih banyak yang 'melembutkan' kuasa hegemonik lelaki, terdapat pula beberapa film yang berusaha melakukan resistensi diskursif terhadap kuasa tersebut, meskipun bukan berarti meresistensi kuasa lain (Setiawan, 2013).Â