Ketika ada para penyebar radikalisme hadir, mereka akan memanggil-kembali semua nilai dan praktik kultural yang membanggakan untuk digunakan sebagai filter dan tameng. Hal itu diperkuat dengan komunalisme antarwarga yang sama-sama penikmat reyog. Mereka rela turun dari wilayah perbukitan di sekitar Ponorogo menuju alun-alun kota dengan naik truk dan pick up.Â
Alun-alun Ponorogo menjadi ruang kultural tempat mereka bisa betergur-sapa dengan kawan, merawat kecintaan terhadap pertunjukan reyog yang menjadi identitas komunal dan kultural mereka. Kehadiran 36 Â komunitas reyog dari Ponorogo dan kabupaten/kota di Indonesia merupakan pengikat solidaritas kebudayaan yang terus berkembang secara dinamis dan bisa menjadi kekuatan untuk meredam tumbuhnya ideologi radikal.Â
Warga dengan karakteristiknya yang egaliter sudah memiliki orientasi budaya yang kuat sehingga ketika muncul wacana ideologis baru bersifat ekstrim dan cenderung menghilangkan keyakinan terhadap budaya lokal akan ditolak secara komunal. Â
Terlepas dari kemeriahan festival reyog, apa yang tidak kalah menarik untuk diungkap adalah keseriusan dan komitmen para seniman muda dalam arahan para seniman senior untuk berlatih. Tentu saja persiapan yang dilakukan tidak cukup 1 minggu atau 2 minggu. Idealnya, persiapan sebuah komunitas seni yang akan berkompetisi dalam FNRP adalah setahun.Â
Bisa dibayangkan betapa para anggota harus mengatur jadwal, menyiapkan tenaga fisik, dan mematangkan pikiran sebelum memutuskan ikut proses kreatif di komunitasnya masing-masing. Bukan persoalan mudah. Semua proses, dari latihan dasar reyog hingga komposisi koreografis harus mereka ikuti dengan disiplin tinggi.Â
Para anggota yang kehadirannya di latihan tidak konsisten akan dievaluasi dan digantikan anggota lain yang lebih siap. Mekanisme ini bukan sekedar cara pendisiplinan, tetapi cara untuk menumbuhkan semangat untuk mencintai budaya lokal secara serius, bukan sekedar untuk senang-senang.Â
Keseriusan dalam berlatih itulah yang akan memperkuat solidaritas di antara para seniman muda serta menghargai semua proses kreatif. Tidak mengherankan, mayoritas para seniman reyog yang pernah aktif di sanggar terus menunjukkan solidaritas dan kecintaan mereka terhadap kesenian ini. Bagi mereka mencintai reyog adalah proses yang sudah nggetih, benar-benar menyatu dalam pikiran dan gerak tubuh. Â
Peristiwa serupa tentang kebanggaan masyarakat terhadap hasil karya para seniman muda yang aktif di sanggar adalah Festival Gandrung Sewu, 12 Oktober 2019, di Pantai Boom, Banyuwangi. Seribu lebih penari yang berasal dari sanggar dan perwakilan sekolah SMP dan SMA se-Banyuwangi berkumpul di pinggir pantai.Â
Meskipun panas menyengat, mereka tetap bersemangat untuk mempersembahkan tari kolosal berbasis kesenian gandrung, salah satu identitas budaya Banyuwangi. Meskipun acara ini di-inisiasi oleh pemerintah kabupaten, para pelatih dan musisi yang terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan adalah para seniman muda di bawa kepemimpinan Dwi Agus Cahyono.Â
Even spektakuler yang dilaksanakan sejak tahun 2012 ini selain menjadi atraksi pariwisata yang digemari wisatawan domestik maupun mancanegara juga menjadi event untuk terus mentransformasi kesenian gandrung ke dalam kehidupan kontemporer masyarakat.Â
Meskipun menjadi tarian massal yang mempesona para penonton, para pelatih tetap mempertahankan pakem pertunjukan gandrung, tetapi sudah dimodifikasi untuk pertunjukan publik. Kesadaran untuk datang ke arena pertunjukan menandakan bahwa warga Banyuwangi bisa menerima tari gandrung massal dan mereka masih memiliki ikatan komunal yang terus dipertahankan hingga kini.