Kedua, kuatnya mobilisasi kebencian dan intoleransi untuk mewujudkan kepentingan politik kelompok atau tokoh politik tertentu seperti yang tampak pada kasus pemilihan gubernur Jakarta tahun 2016 (Mietzner & Muhtadi, 2018; Lim, 2017). Ketiga, masih kuatnya mobilisasi populisme agama tertentu yang memposisikan kesadaran dan sentimen populer berbasis agama  sebagai cara utama untuk mewujudkan tujuan politik tertentu (Hadiz, 2018, 2013, 2008; Hadiz & Robison, 2012).Â
Untuk itulah dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mencegah berkembangnya radikalisme dan radikalisasi di Indonesia. Sebenarnya, masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang cukup untuk mencegah radikalisme dan radikalisasi. Ikatan, solidaritas, dan kohesi sosio-kultural yang relatif masih bagus di tengah-tengah masyarakat bisa menjadi modal penting.Â
Ruang kultural (cultural sphere) bisa menjadi alternatif untuk mencegah penyebaran radikalisme. Secara konseptual,ruang kultural merupakan ruang ekspresi di mana semua warga bisa berpartisipasi untuk menjalankan agenda-agenda bersama dalam suasana guyub, rukun, dan bergembira, dengan tujuan menegosiasikan dan terus mengembangkan kekayaan tradisi.Â
Semua warga berhak memberikan masukan terkait pelestarian dan pengembangan serta berhak terlibat langsung, baik secara aktif maupun pasif, dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, tanpa memandang status sosial mereka. Konsep ini memodifikasi konsep ruang publik yang ditawarkan Harbermas (1989).Â
Secara sederhana, ruang publik (public sphere), dalam pemahaman Harbermas, merupakan sebuah area dalam kehidupan sosial di mana semua individu berkumpul bersama-sama untuk membahas dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan sosial. Dalam lingkup masyarakat lokal, banyak tempat yang dijadikan ruang kultural, seperti balai desa, balai dusun, tanah lapang, komunitas/sanggar seni, dan lain-lain.Â
Kerangka konseptual di atas akan menjadi pijakan untuk menganalisis data primer dari penelitian di Kabupaten Banyuwangi dan Ponorogo Jawa Timur dengan fokus kebijakan budaya untuk memberdayakan komunitas seni dan mencegah radikalisme. Data primer berasal dari observasi terlibat dan wawancara mendalam dengan para pelaku kesenian di komunitas seni dari dua kabupaten tersebut.Â
Selain itu, saya juga menganalisis data sekunder dari media online yang terkait persoalan untuk memperkuat konsep yang ditawarkan. Analisis diarahkan untuk mengungkap krontribusi penting komunitas seni sebagai ruang kultural yang berperan menyemaikan kreativitas estetik.Â
Imajinasi dan konstruksi berpikir yang beorientasi kepada keindahan dan kreativitas karya mendorong anggota sanggar seni untuk menolak paham-paham radikal yang bertujuan menghancurkan bangunan kerukunan, solidaritas, dan kebangsaan. Pada bagian akhir saya akan mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan budaya yang menempatkan komunitas seni lokal sebagai bagian strategis dalam penumbuhan kesadaran kreatif dan kesadaran berbangsa yang bisa mencegah radikalisme.
MENJADI KREATIF MELALUI KERJASAMA & TOLERANSIÂ
 Di Banyuwangi, terdapat dua kategori sanggar (komunitas seni). Pertama, sanggar seni yang hanya berkegiatan ketika mendapatkan job pertunjukan. Biasanya sanggar seni seperti ini mengelola seni rakyat berbasis etnis seperti gandrung (tari pergaulan), janger (drama tradisional), jaranan, dan reyog.Â
Kedua, sanggar seni yang menjadi tempat pelatihan tari dan musik kreasi berbasis kesenian rakyat. Sanggar seni ini dikelola secara modern dengan sistem pelatihan sistematis. Saya, pertama-tama, akan menganalisis aktivitas kreatif yang dilakukan di sanggar seni melatih para anggotanya skill tari dan musik.Â