Suara-suara lori yang datang mengangkut berton-ton tebu menuju kawasan pabrik pasti menghadirkan irama tersendiri, menggenapi semua impian dan harapan para pengusaha Eropa untuk mengeruk keuntungan berlimpah serta keinginan para buruh pribumi untuk merasakan rezeki ekonomi dari upah.
Tidak lupa saya membayangkan bagaimana staf PG Gunnungsari yang berasal dari Eropa tinggal di rumah yang berbeda dari para buruh. Rumah-rumah itu bergaya Eropa dan lebih luas sehingga masih tetap mengikat mereka dengan negeri asal dan segala ingatan akan keluarga, bangsa, dan budaya leluhur.Â
Sayangnya, semua itu peristiwa historis tersebut akan segera kehilangan sebagian besar penanda fisik. Bangunan-bangunan untuk pengelolaan tebu menjadi gula sebagian besar sudah runtuh dan ada yang rata dengan tanah.
TIDAK SERIUS MENGHARGAI SEJARAH DAN WARISAN MASA LALU
Runtuhnya sebagian besar bangunan pabrik merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia, belum begitu serius menangangi bangunan-bangunan bersejarah warisan kolonial. Memang sudah ada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, tetapi dalam praktiknya masih banyak ketidakjelasan di tingkat daerah terkait upaya pendataan, perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan bangunan warisan kolonial.Â
Sementara, para pemilik atau pengelola bangunan-bangunan kolonial lebih memperhatikan bangunan-bangunan yang masih berfungsi atau digunakan untuk kepentingan mereka. Adapun, bangunan-bangunan yang sudah tidak berfungsi, kebanyakan tidak dirawat, sehingga akhirnya terbengkalai, lapuk, dan lenyap alias rata dengan tanah.Â