Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Purnama di Jambuan: Kesadaran Ekokultural dari Pinggiran Jember

18 September 2022   08:42 Diperbarui: 19 September 2022   17:44 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai kecil yang airnya berasal dari sumber air di Jambuan. Dok. penulis

Lampu pun tidak butuh terlalu gemerlap, karena yang terpenting adalah cahaya untuk menerangi jalannya pertunjukan.  Demikian pula, sound system juga tidak harus berkekuatan besar. Cukuplah bisa mengeluarkan suara yang bagus agar musik selama pertunjukan bisa didengar dengan jelas. 

Pembuatan panggung yang memanfaatkan potensi lokal merupakan sebuah tanda untuk mengajak warga Jambuan bahwa untuk menggelar pertunjukan seni tidak harus menggunakan panggung buatan dengan membayar sewa yang mahal. Kegiatan seni yang melibatkan masyarakat bisa menggunakan panggung alami dengan memanfaatkan apa-apa yang ada di lokasi. 

Panggung dengan kesadaran ekologis. Dok. penulis
Panggung dengan kesadaran ekologis. Dok. penulis

Selain itu, dengan mengambil lokasi di kawasan rumpun bambu, pertunjukan ini secara langsung mengingatkan kepada warga Jambuan, bahwa menjaga keberadaan bambu bukan sekedar untuk keperluan sumber air dan kebutuhan rumah tangga. Lebih dari itu, rumpun bambu juga bisa memperkaya ekskpresi kultural dengan udaya segar dan pemandangan indah. 

Purnama di Jambuan. Dok. penulis
Purnama di Jambuan. Dok. penulis

Dalam pertunjukan, dua kesenian rakyat ditampilkan selain pembacaan puisi. Kesenian rakyat itu adalah glundengan dan lengger. Glundengan merupakan kesenian khas Jember yang menampilkan komposisi musikal dengan alat musik bila-bila kayu bayur atau nangka yang disusun menyerupai gamelan. Nada yang keluar dari glundengan yang dipukul secara rancak juga mirip dengan gamelan Jawa. 

Pertunjukan glundengan. Dok. penulis
Pertunjukan glundengan. Dok. penulis

Glundengan merupakan seni musikal yang dimainkan secara kelompok dengan kondisi yang cukup mengenaskan karena hampir punah. Kesenian ini biasanya digunakan untuk mengiri tota'an dara (semacam balapan burung merpati). Glundengan biasanya membuat tota'an dara menjadi  lebih meriah dan hidup. 

Bisa dikatakan glundengan merupakan kesenian berdimensi ekologis karena bahan untuk alat musik berupa kayu bayur atau nangka. Tentu, untuk bisa mempertahankan kesenian ini, ketersediaan kayu bayur dan nangka menjadi penting. Dengan demikian, kalau para seniman dan warga masih ingin menikmati glundengan, mereka harus merawar kayu bayur atau nangka. 

Glundengan dengan alat musik dari kayu bayur atau nangka. Dok. penulis
Glundengan dengan alat musik dari kayu bayur atau nangka. Dok. penulis

Itulah yang saya maksudkan sebagai dimensi ekologis yang mengaitkan kesenian glundengan dengan pemertahanan ekosistem kawasan Jambuan, utamanya berkaitan dengan ketersediaan kayu bayur atau nangka. Dengan mempertahankan keberadaan kedua kayu tersebut, maka rancak glundengan akan terus mengalun akan terus bisa dinikmati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun