Selain itu pengetahuan adat berbasis alam sebagai warisan budaya tak benda juga bisa dimasukkan dalam elemen pariwisata ekokultural (Katelieva, Muhar, & Penker, 2019).Â
Pariwisata ekokultural memiliki keunikan karena bisa menarik wisatawan untuk mengalami dan mengeksplorasi cara hidup masyarakat lokal, adat istiadat dan agama, warisan budaya, dan implikasi budaya lain yang tidak mereka kenal.Â
Wisatawan juga bisa belajar mengapresiasi keberbedaan budaya masyarakat lokal di tengah-tengah trend homogenisasi budaya global. Pengembangan sumber daya ekologi dan budaya yang terkoordinasi dapat memberikan peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat lokal.Â
Tentu saja, kebijakan strategis untuk menjalankan wisata berkelanjutan yang mengintegrasikan kekayaan budaya dan konservasi ekologis mutlak dibutuhkan agar pemerintah maupun warga masyarakat bisa merasakan dampak positifnya (Loulanski & Loulanski, 2011; Junjie Su, 2019; d’Hauteserre, 2010; Mgonja et al, 2015).Â
Apa yang tidak boleh diabaikan adalah memberikan kendali kepada masyarakat lokal untuk terlibat secara langsung dalam menjalankan aktivitas wisata ekokultural agar potensi wilayah mereka tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang bisa merugikan (Pereiro, 2016).
Dari perspektif ekokultural, apa yang dilakukan Pemdes Lojejer dan KBM Ekowisata Perhutani Jawa Timur dengan menggelar Petik Laut sebagai ganti Larung Sesaji serta dimeriahkan dengan gelar kesenian merupakan upaya konkrit untuk menjalankan aktivitas kepariwisataan yang juga terus menumbuhkan keterlibatan para pelaku seni dan budaya.Â
Pelibatan mereka dalam Petik Laut tentu bisa memberikan suntikan energi baru untuk terus melestarikan kesenian atau melanjutkan sanggar/komunitas seni yang ada.Â
Para pelaku seni dan budaya, selain mendapatkan rezeki ekonomi, juga akan menemukan dan merasakan empati dari pemerintah desa dan Perhutani sebagai representasi Negara di wilayah lokal. Dari situlah, mereka akan terus memelihara semangat untuk berkesenian dan berkebudayaan.