Jadi, kalaupun dalam Petik Laut Tanjung Papuma 2022 hanya melarung sesajen dan hasil bumi, tidak menjadi masalah. Apa yang terpenting adalah niatan dan doa untuk kebaikan bersama.
Bagi saya, apa yang juga cukup membahagiakan adalah menyaksikan banyaknya pengunjung yang bertahan hingga pembagian hasil bumi dari gunungan. Mereka berebut untuk mendapatkannya. Ini tentu menjadi sinyal positif. Warga masyarakat ataupun wisatawan tertarik untuk mengikuti prosesi ritual Petik Laut.Â
Meskipun awalnya mereka hanya ingin menikmati keindahan Pantai Tanjung Papuma, gelaran ritual bisa menarik rasa ingin tahu mereka. Apalagi banyak di antara mereka adalah generasi muda.
Memaknai Petik Laut dalam Kerangka Ekokultural & Kepariwisataan
Setelah mengikuti keseluruhan proses ritual Petik Laut Tanjung Papuma 2022, saya akan menghadirkan pembacaan dengan analisis sederhana yang menekankan perspektif ekologis dan kultural dalam aktivitas kepariwisataan di kawasan Perhutani yang memiliki keindahan pantai dan kawasan hutan dengan beragam flora dan faunanya.Â
ekowisata (ecotourism). Tentu saja, mereka memiliki pertimbangan strategis berkaitan dengan keindahan alam dan kepentingan konservasi sebagai karakteristik ekowisata. Apalagi di kawasan hutan Tanjung Papuma terdapat aneka macam satwa seperti kera berkulit coklat dan hitam, biawak, aneka macam burung dan yang lain.Â
Perhutani melabeli aktivitas wisata di kawasan Tanjung Papuma sebagaiSecara internasional, ekowisata dipahaami sebagai pariwisata berkelanjutan yang bercirikan: (a) berbasis sumber daya alam yang memberikan pengalaman dan pembelajaran tentang alam dan sejarahnya serta aspek-aspek lain yang berasal dari keterkaitan erat manusia dan bumi;Â
(b) dikelola secara etis dan komunal sehingga tidak membahayakan lingkungan; dan, (c) bertujuan konservasi untuk pelestarian kawasan dan meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan warga komunitas (Fennell, 2003, 2002; Conway & Cawly, 2016; Donohoe & Needham, 2006).Â
Ekowisata penting dalam usaha untuk membangun kawasan secara berkelanjutan karena menekankan pada aspek konservasi dan pemanfaatan alam secara arif dan tidak eksploitatif serta mengedepankan partisipasi warga komunitas dan wisatawan (Mondino & Beery, 2018; Boley & Green, 2015; Gale & Hill, 2009;).
Jika ekowisata dikelola secara benar dengan melibatkan pemerintah dan komunitas bisa memberdayakan kehidupan warga, seperti yang berlangsung di Thailand (Sonjai et al, 2018;Â Palmer & Chuamuangphan, 2018), Brasil (Rodrigues & Pridaeux, 2017), Bostwana dan Rwanda (Black & Cobbinah, 2016), Zimbabwe (Muzvidziwa, 2013), dan India (Das & Hussain, 2016). Bahkan, Singapura yang secara geografis memiliki keterbatasan wilayah dengan kekayaan alam, juga mengembangkan ecotourism (Tham, 2017).