Membicarakan krisis ekologis hari ini, kita tidak boleh mengabaikan proses panjang kolonialisme yang banyak mengubah lanskap wilayah jajahan melalui praktik pertanian dan perkebunan non-domestik dan pertambangan demi mememuhi hasrat kapitalistik manusia-manusia ekspansionis.Â
Menggunakan logika kuasa yang diinvestasi dengan rasisme, penjajah menempatkan wilayah-wilayah baru yang cukup subur dan kaya sumberdaya mineral menjadi medan yang harus dieksploitasi dengan menggunakan tenaga manusia pribumi ataupun manusia yang didatangkan dari benua/negara lain sesuai dengan kehendak mereka.
Hutan belantara di lereng-lereng gunung di kawasan Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso pun tidak luput dari kehendak ekspansionis-kapitalistik mereka. Sejak 1870, sebagai wilayah frontier yang belum banyak dikelola dan masih jarang penduduknya, mulai diekspansi oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan pertanian kolonial secara bergelombang (Nawiyanto, 2012: 81).Â
Kawasan yang cukup subur karena proses alam dari humus dan abu letusan gunung cukup ideal untuk dijadikan wilayah perkebunan. Pembabatan hutan dilakukan untuk menjadikan kawasan hutan itu sebagai perkebunan kopi dan karet, dua komoditas yang laku keras di pasar internasional.Â
Kedahsyatan hutan yang banyak disebut dengan konsep lisan  "alas gung liwang liwung", hutan belantara, berdasarkan kompleksitas isi hutan, dari bermacam pohon hingga semak, hewan liar hingga serangga.
Serta, hal-hal aneh yang seringkali dianggap terjadi di dalamnya, perlahan-lahan tidak berlaku bagi nalar modern manusia-manusia berbaju dam bercelana putih. Kalau perlu hewan penghuni hutan seperti harimau, rusa, dan banteng diburu.
Hutan belantara bagi mereka adalah kawasan geografis yang harus ditundukkan dengan orientasi dan praktik modern berbasis ritme percepatan Revolusi Industri.Â
Maka, batang-batang besar pun dirubuhkan, dipotong-potong. Semak-semak pun dibersihkan. Bibit kopi dan karet pun disemaikan untuk kemudian ditanam dilahan bekas hutan.Â
Kawasan pemukiman pun disiapkan untuk pihak manajemen perusahaan dan buruh. Logika dan formula inilah yang perlahan tapi pasti mengoyak dan melukai kekuatan dan karakteristik hutan di kawasan Karesidenan Besoeki.
Menelisik foto-foto dari era 1910-an hingga 1930-an yang tersedia di Digital Collection, Leiden University Libraries, kita  bisa mengetahui bagaimana subjek rasional Eropa secara rakus membuka belantara di kawasan Kalibaru dan kawasan selatan Banjoewangi.Â
Menurut Nawiyanto (2012: 82), dari 1910-1940 terjadi perluasan lahan perkebunan dan pertanian di  Banyuwangi seperti  di Kalibaru, Grajagan, Sanggaran, dan Bajulmati.Â
Mereka bukanlah manusia-manusia Romantik yang menempatkan hutan belantara di lereng dan kaki gunung sebagai ruang geo-kultural untuk menemukan keluasan batin dan pikir, melampaui nalar mekanik.Â
Mereka adalah manusia-manusia yang dengan riang gembira menjadikan belantara sebagai sumber kehidupan yang menggerakkan roda ekonomi-industrial dam memakmurkan tanah air nun jauh di sana.
Lalu, bagaimana proses pembabatan pohon di belantara itu? Apakah manusia Eropa yang melakukannya? Ataukah manusia-manusia pribumi?Â
Sampai saat ini, mungkin karena keterbatasan foto yang disediakan untuk diakses secara gratis, saya belum menemukan gambar tentang proses pembabatan hutan dan orang-orang yang melakukannya.Â
Menurut cerita turun-temurun, para pribumilah yang diminta untuk menenang pohon-pohon besar hutan untuk kemudian dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.Â
Bermacam cerita pun menyertai proses penebangan pohon-pohom besar. Sampai-sampai para penebang harus melakukan ritual khusus agar para penjaga ghaib pohon itu memperkenankan pohon-pohon itu ditebang.Â
Itu cerita lisan yang dituturkan secara turun-temurun, soal kebenarannya tentu kita harus memahami situasi kontekstual ketika warga pribumi yang tidak terbiasa dengan logika industrial harus melakukan tindakan yang bisa mengganggu relasi mereka dengan alam.Â
Tidak jarang pula mereka harus membuat gubuk atau rumah sederhana untuk tempat tinggal selama proses pembabatan hutan. Itu menunjukkan bahwa menebang pohon dari hutan tropis dengan alat manual seperti kapak membutuhkan waktu yang lama. Kita bisa membayangkan betapa berat kehidupan yang harus dilalui oleh para penebang pohon.
Foto-foto yang tersedia adalah foto ketika proses pembabatan sudah selesai. Tidak jarang subjek Eropa masuk dalam frame sembari menunjukkan ekspresi bahagia.Â
Kehadiran mereka bisa dibaca sebagai usaha penandaan untuk menunjukkan bahwa mereka berhasil membabat kawasan liar dan segera akan menjadi perkebunan subur yang sangat menguntungkan.Â
Mereka seringkali mengunjungi kawasan hutan yang baru saja dibabat untuk merayakan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tentu perlu diabadikan dan dikirimkan ke kerabat dan manajemen perusahaan di Eropa. korporasi kolonial tersebut yang diharapkan akan merasakan kebahagiaan serupa.Â
Bahwa perjalanan panjang orang-orang Eropa ke bumi Banjoewangi akan membawa kesejahteraan ekonomi, bukan hanya untuk mereka yang tinggal di kawasan perkebunan, tetapi juga untuk mereka yang setiap saat menghirup udara Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda.
Seperti tampak dalam foto di atas, di mana warga Eropa tampak di kejauhan sedang mengunjungi lahan baru di kawasan Kalibaru, Banyuwangi. Pilihan untuk memotret dengan sudut pandang long shot memunjukkan betapa luasnya lahan baru untuk perkebunan Eropa.Â
Luasnya lahan tersebut perlu diekspos untuk menggambarkan kuasa warga Eropa terhadap lahan-lahan hutan di Banyuwangi.Â
Para pemodal swasta yang menikmati kesempatan investasi berdasarkan kebijakan liberal pemerintah kolonial berhak untuk mengelola lahan dengan pengetahuan, teknologi, dan modal ekonomi mereka.
Sementara warga pribumi adalah buruh-buruh yang diberikan upah untuk menjalankan kerja pembabatan sebagaimana diinstruksikan oleh para tuan Eropa dan pihak manajemen perusahaan.Â
Maka, kedirian mereka tidak perlu dimasukkan ke dalam frame foto, karena mereka adalah liyan yang menempati posisi subordinat dalam mekanisme korporasi kolonial, tidak bisa menempati posisi setara.Â
Absensi subjek pribumi dari kelas rendah dalam foto pembabatan hutan, lebih jauh lagi, bisa dibaca sebagai usaha semiotik berdimensi politis. Kalaupun dilibatkan, posisi dominan dalam gambar akan tetap diberikan ke subjek Eropa.Â
Seperti dalam foto pembabatan hutan di Banjoewangi selatan, beberapa pekerja pribumi tanpa baju, berada di belakang sambil berdiri. Di samping mereka tampak beberapa tukang yang menjaga kuda para tuan Eropa.Â
Sementara tiga subjek Eropa  berpakaian putih-putih duduk di bagian depan, di atas kayu gelondongan, di belakang mereka tampak beberapa "amtenar" (pegawai kolonial dari kalangan pribumi) juga tengah duduk.Â
Bagaimanapun kondisinya, para tuan Eropa harus duduk dalam posisi yang lebih tinggi dan dominan. Para amtenar, meskipun mereka adalah bagian dari birokrasi kolonial, tetap harus berada 'di belakang' para tuan.Â
Komposisi fotografis ini memang menghadirkan subjek kolonial secara lengkap: tuan Eropa, amtenar, tukang kuda, warga pribumi juru tebang. Penghadiran ini bukan sekedar usaha teknis tukang potret untuk memunculkan komposisi seimbang.Â
Mengikuti pendapat Protschky (2015: 13-14), bisa saja kita berasumsi bahwa komposisi tersebut juga menandakan semangat kesetaraan subjek Eropa dan pribumi sebagaimana digemakan oleh para pejuang liberal melalui Politik Etis awal abad ke-20 di Hindia Belanda.Â
Kamera tukang potret menjadi elemen penting untuk melihat bagaimana dampak ideologis kebijakan tersebut bagi kehidupan di koloni, baik dalam kehidupan ekonomi, politik, maupun kultural, khususnya manusia-manusia pribumi.
Para amtenar merupakan pegawai yang disiapkan melalui reformasi pendidikan agar bisa menjalankan kerja-kerja birokratis dan manajerial, sehingga mereka bisa menempati kelas menengah. Meskipun demikian, untuk posisi-posisi penting, manusia-manusia Eropa lebih diprioritaskan.Â
Menjadi wajar kalau foto tersebut menunjukkan bahwa masih ada peta konseptual atau semacam kode etis bagaimana harus menempatkan relasi di antara mereka dalam komposisi piktorial yang tidak melanggar kepatutan norma kolonial.Â
Penggambaran itu bisa jadi sejalan dengan realitas kebijakan Politik Etis untuk Hindia-Belanda: warga pribumi, baik amtenar, tukang kuda, dan juru tebang boleh hadir dalam frame, tetapi posisi mereka tetap harus "diatur" dan "disesuaikan."
Apa yang patut dicermati dari foto-foto itu adalah kondisi hutan pasca pembabatan. Puluhan ribu hektar hutan dibabat.Â
Meskipun dimaksudkan untuk mengabarkan prestasi berupa hasil kerja yang selama beberapa tahun ke depan akan memberikan keuntungan melimpah, foto-foto menegaskan betapa rakusnya manusia modern Eropa yang digerakkan nalar industrial.Â
Entah berapa banyak jumlah pohon besar yang harus ditebang dan dipotong-potong demi menyiapkan perkebunan. Entah banyak semak belukar yang harus disingkirkan.Â
Entah berapa banyak satwa dan serangga yang harus mencari tempat tinggal baru atau bahkan mati. Meskipun kawasan tersebut ditanami karet ataupun kopi, habitat domestik jelas berubah, dan ekosistem hutan hujan tropis pun menjadi kawasan perkebunan komersil.Â
Bagi para pekebun Eropa, keberadaan lahan hutan yang baru saja dibabat, tentu menjadi sumber kekayaan setelah ditanami karet, kopi, maupun kakao.Â
Tanaman-tanaman komersil yang laku keras di Eropa, Asia, dan Amerika tersebut tentu memberikan keuntungan melimpah buat para pengusaha perkebunan kolonial.Â
Maka, perawatan dan perlakuan terhadap lahan-lahan perkebunan pun tidak bisa semena-mena. Para tuan berbekal ilmu dan teknologi budidaya yang mereka pelajari berusaha semaksimal mungkin menyiapkan perkebunan yang diproyeksikan dalam jangka panjang dan memberikan keuntungan ekonomi kepada mereka.
Salah satu yang disiapkan adalah bibit tanaman komersil seperti karet. Seperti tampak dalam foto di atas, beberapa pekerja pribumi menyiapkan bedengan untuk tempat pembibitan karet. Tentu mereka sudah diberi arahan oleh para pekebun Eropa tentang bagaimana harus melakukan pembibitan.Â
Keseriusan dalam menyiapkan dan merawat bibit karet merupakan tahapan penting karena bibit yang baik akan berimplikasi pada batang-batang karet yang berkualitas.Â
Untuk itulah pengawasan secara ketat oleh pekerja Eropa dibutuhkan agar bibit yang sudah disiapkan bisa tumbuh dengan baik.Â
Selain ingin menunjukkan keseriusan dalam melakukan proses penyiapan bibit untuk lahan perkebunan, kehadiran pekerja Eropa dalam foto di atas juga menjadi penanda bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi budidaya tanaman karet benar-benar bisa dibuktikan di tanah jajahan.Â
Para pekebun kolonial yang bukan warga pribumi, dengan kapasitas dan kecapakan rasional mampu menjinakkan keliaran hutan di ujung timur Jawa dengan tanaman karet yang cukup laris di pasar internasional.Â
Maka, tidak mengherankan kalau dalam foto dengan sudut pengambilan gambar long shot tersebut kita bisa menangkap makna kehebatan subjek Eropa dalam menundukkan, untuk kemudian mengelola lahan subur di tanah jajahan.Â
Selain pembibitan, penyiapan lahan yang akan ditanami juga harus benar-benar diperhatikan. Memang, lahan babatan hutan mengandung banyak humus.Â
Namun demikian, lahan tersebut tetap membutuhkan perlakuan dan teknik khusus agar bisa memberikan manfaat maksimal untuk tumbuh kembang tanaman.
Seperti tampak pada foto di atas, para pekebun Eropa cukup serius menyiapkan lahan untuk menanam kopi robusta, komoditas yang tidak kalah larisnya dengan karet dan kakao. Mereka sadar bahwa kopi bukanlah tanaman endemik Jawa, sehingga perlu teknik khusus terkait lahan agar kesuburan tanah bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Tidak mengherankan kalau para pekebun Eropa senang memamerkan perkebunan mereka melalui foto. Keberhasilan membudidayakan kopi robusta di kawasan Kalibaru dan perkebunan-perkebunan lain di Hindia Belanda, misalnya, tentu cukup membahagiakan dan membanggakan, sehingga perlu diabadikan dalam foto di atas.Â
Perkebunan karet pun perlu diabadikan dalam foto karena akan menjadi kabar baik buat keluarga dan kerabat serta pemerintah Belanda.Â
Bukan hanya berkaitan dengan kemampuan untuk menaklukkan dan mengelola keliaran Jawa, tetapi juga berkaitan dengan kekayaan ekonomi yang menyertai keberhasilan budidaya tanaman komersial di Banyuwangi.Â
Terlepas dari semua keberhasilan para pekebun kolonial, konsekuensi logis dari pembabatan lahan di kawasan Banyuwangi barat adalah masalah lingkungan.Â
Bukan karena faktor alam, tetapi karena faktor alih fungsi lahan hutan untuk kawasan perkebunan. Bukan hanya terkait mulai tergusurnya banyak satwa hutan seperti harimau Jawa, banteng, kijang, dan yang lain, serta mulai hilangnya tanaman endemik, tetapi juga "sinyal bumi" berupa banjir.Â
Dari foto-foto yang berhasil saya akses, di Banyuwangi barat pernah terjadi banjir bandang yang lumayan berat. Foto-foto yang dibuat pada tahun 1939 menunjukkan tingkat kerusakan yang lumayan parah.Â
Banjir bandang menerjang jembatan penghubung Banyuwangi dan Kalibaru serta kawasan lain di wilayah barat, seperti Kendeng Lembu. Jalan raya pun tergerus. Lahan perkebunan hingga pabrik pun diterjang air.Â
Dari mana air itu datang? Jelas dari air hujan yang sudah tidak mampu lagi ditahan karena banyak kawasan hutan di kawasan perbukitan yang digunduli untuk kepentingan perkebunan komersial. Â
Proses perkebunan yang sudah berlangsung lama telah merusak ekosistem hutan yang biasanya mampu menahan laju air hujan. Akibatnya, banjir bandang menjadi bencana yang harus dihadapi para pekebun Eropa dan masyarakat luas.Â
Dari pembacaan foto-foto di atas kita bisa mengetahui bahwa persoalan ekologis yang berlangsung hari ini tidak pernah berdiri sendiri. Proses panjang pembabatan hutan oleh pemodal Eropa di Hindia Belanda memang menghasilkan keuntungan melimpah buat mereka.Â
Para pemodal kebun dan pemerintah Belanda merasakan kemakmuran yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Kesejahteraan dari tanaman komersial seperti kopi, karet, kakao, dan yang lain memang meningkat drastis.Â
Negeri Belanda menjadi negeri yang kaya dan makmur. Namun, konsekuensi langsungnya adalah masalah lingkungan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.Â
Kalau para pemodal perkebunan dan pertambangan nasional masih menggunakan model kolonial, seperti membabat hutan hujan tropis serta menggunduli kawasan perbukitan dan pegunungan, maka keuntungan ekonomi yang didapat oleh pemodal dan pemerintah tidak pernah cukup untuk menanggung beban yang dialami masyarakat akibat krisis ekologis.
RUJUKAN
Nawiyanto. (2012). Berakhirnya Frontier Pertanian: Kajian Historis Wilayah Besuki, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1): 77-98.
Protschky, Susie. (2015). Photography and the Making  of a Popular, Colonial  Monarchy The Netherlands East Indies during Queen Wilhelmina's Reign (1898-1948). Low Countries Historical Review, Vol 130-4,  pp. 3-29.Â
Semua foto diakses dari Digital Collection Leiden University Library.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H