Menurut Nawiyanto (2012: 82), dari 1910-1940 terjadi perluasan lahan perkebunan dan pertanian di  Banyuwangi seperti  di Kalibaru, Grajagan, Sanggaran, dan Bajulmati.Â
Mereka bukanlah manusia-manusia Romantik yang menempatkan hutan belantara di lereng dan kaki gunung sebagai ruang geo-kultural untuk menemukan keluasan batin dan pikir, melampaui nalar mekanik.Â
Mereka adalah manusia-manusia yang dengan riang gembira menjadikan belantara sebagai sumber kehidupan yang menggerakkan roda ekonomi-industrial dam memakmurkan tanah air nun jauh di sana.
Lalu, bagaimana proses pembabatan pohon di belantara itu? Apakah manusia Eropa yang melakukannya? Ataukah manusia-manusia pribumi?Â
Sampai saat ini, mungkin karena keterbatasan foto yang disediakan untuk diakses secara gratis, saya belum menemukan gambar tentang proses pembabatan hutan dan orang-orang yang melakukannya.Â
Menurut cerita turun-temurun, para pribumilah yang diminta untuk menenang pohon-pohon besar hutan untuk kemudian dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.Â
Bermacam cerita pun menyertai proses penebangan pohon-pohom besar. Sampai-sampai para penebang harus melakukan ritual khusus agar para penjaga ghaib pohon itu memperkenankan pohon-pohon itu ditebang.Â
Itu cerita lisan yang dituturkan secara turun-temurun, soal kebenarannya tentu kita harus memahami situasi kontekstual ketika warga pribumi yang tidak terbiasa dengan logika industrial harus melakukan tindakan yang bisa mengganggu relasi mereka dengan alam.Â
Tidak jarang pula mereka harus membuat gubuk atau rumah sederhana untuk tempat tinggal selama proses pembabatan hutan. Itu menunjukkan bahwa menebang pohon dari hutan tropis dengan alat manual seperti kapak membutuhkan waktu yang lama. Kita bisa membayangkan betapa berat kehidupan yang harus dilalui oleh para penebang pohon.