Satu realitas yang tidak bisa ditolak adalah banyak irigasi kolonial dan peninggalan bangunan lainnya yang masih awet dan bermanfaat hingga saat ini.Â
Mengalahkan keawetan bangunan-bangunan yang dibuat di era kontemporer. Para pekerja pribumi, mengikuti perintah para insinyur kolonial, memberikan yang terbaik untuk membuat bangunan yang kokoh.
Penjajahan dengan bermacam wacana dan praktik penindasan masih meninggalkan banyak bangunan irigasi yang  memberikan manfaat bagi warga Jember untuk melanjutkan pertanian modern.Â
Pertanian masa kini pun masih bergantung kepada teknologi dan bangunan irigasi dari masa lalu. Bisa dibayangkan, tanpa Bendung Pondok Waluh, para petani di kawasan Kencong, Gumukmas, dan Jombang akan menggantungkan pada musim hujan untuk mengelola lahan mereka.
Melihat masih kuatnya Bendung Pondok Waluh, kita jadi sedih ketika membandingkan dengan kualitas irigasi yang dibangun pemerintah Republik Indonesia yang kondisinya tidak sekuat bangunan kolonial.Â
Pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak saya adalah apa yang membedakan pengerjaan proyek di masa kolonial dan pascakolonial. Bukankah secara bahan dan teknologi lebih lengkap dan canggih di masa pascakolonial?Â
Wajar kiranya kalau banyak orang berasumsi bahwa proyek-proyek yang digarap pemerintah di era kontemporer berkurang kualitasnya karena banyak praktik korupsi dalam pengerjaan.Â
Kalau asumsi tersebut benar, berarti pemerintah seharusnya malu karena di era kemerdekaan yang semestinya bisa memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, ternyata kualitas proyek untuk kepentingan umum kalah kualitas dari proyek di era kolonial.Â
BENDUNG PONDOK WALUH SEBAGAI WISATA WARISAN KOLONIAL
Sebagai warisan Politik Etis Belanda, Bendung Pondok Waluh memiliki sejarah pancang dari era kolonial dan pascakolonial.Â
Bukan hanya berkaitan dengan para insinyur, pekerja, dan sulitnya proses pembuatan bendung tersebut, tetapi juga berkaitan dengan tumbuhnya desa-desa yang berpenduduk mayoritas Jawa di kawasan Kencong, Gumukmas, dan Jombang.Â