POLITIK ETIS BELANDA DAN IRIGASI
Jember menjadi surga bagi pemodal swasta Belanda di sektor perkebunan pada abad ke-19 hingga ke-20. Hasil-hasil perkebunan seperti tembakau, kopi, karet, kakao, dan teh menjadi penopang keuntungan besar para pengusaha dan pemerintah kolonial.Â
Namun, tingkat kesejahteraan warga jajahan cukup menyedihkan. Para migran yang berpindah dari Madura, kawasan Mataraman dan Panaragan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta tidak menikmati kesejahteraan.
Di negeri Belanda, beberapa intelektual kolonial seperti  Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer melancarkan kritik terbuka terhadap pemerintah Belanda agar memikirkan kebijakan yang bisa mengangkat taraf hidup warga pribumi.Â
Keuntungan pemerintah Belanda cukup besar praktik ekonomi eksploitatif di tanah jajahan Hinda Belanda.Â
Bagi para intelektual kritis tersebut, pemerintah Belanda memiliki semacam hutang kehormatan kepada warga jajahan. Maka pemerintah kolonial wajib secara moral menjalankan kebijakan balas budi dengan cara mengusahakan kesejahteraan warga pribumi.Â
Menanggapi kritik tersebut, pada 1901 Ratu Belanda Wilhelmina memaklumatkan kebijakan yang disebut Politik Etis. Secara garis besar, Politik Etis terdiri atas program pendidikan, irigasi, dan perpindahan penduduk.
Di Jember, salah satu wujudnya adalah dibangunnya saluran irigasi modern yang memanfaatkan beberapa sungai alam di Jember pada era 1900-an. Tujuannya adalah memudahkan petani mengelola lahan mereka dengan baik karena terpenuhinya kebutuhan air.Â
Dengan demikian, para petani diharapan lebih sejahtera. Tentu, pemerintah kolonial juga memiliki tujuan lain, seperti semakin baiknya irigasi untuk tanaman tebu dan memperbanyak hasil tanaman pangan yang memperkuat basis ekonomi dan politik mereka.
Bendung yang tersebar di banyak wilayah Jember, masih berfungsi dengan baik hingga saat ini. Prinsip kerjanya, aliran sungai dari gunung dibendung untuk kemudian dialirkan ke banyak kanal menuju lahan pertanian, tetapi tetap ada aliran ke jalur sungai alamnya.Â
Meskipun dibendung, air tidak membutuhkan kolam penampungan besar seperti waduk, karena mekanisme alirannya dikelola dengan teknologi canggih pada zamannya, sehingga setelah singgah sejenak air langsung dialirkan melalui kanal-kanal buatan.
Salah satu bendung warisan Politik Etis pemerintah kolonial Belanda di Jember yang masih beroperasi dengan baik adalah Bendugn Pondok Waluh yang mengairi 7000 ha lebih hektar sawah di wilayah Kencong, Gumukmas, Jombang.Â
Bendung yang terletak di Desa Pondok Waluh Kecamatan Kencong ini mengelola air sungai yang berasal dari kawasan pegunungan Tanggul bagian utara.Â
Setelah masuk bendung, air sungai dipecah menjadi tiga aliran, dua kanal buatan dan satu aliran alami.Â
Dua kanal buatan itu dihubungkan dengan banyak saluran irigasi kecil ke lahan pertanian. Dengan tersedianya air tersebut, para petani tidak perlu bingung lagi untuk menggarap lahan mereka di musim kemarau.
Menurut informasi seorang kawan, Setyo Hadi, para pekerja yang mengerjakan proyek Bendung Pondok Waluh banyak berasal dari Trenggalek dan sekitarnya.Â
Keberadaan mereka membentuk desa baru seperti Pondok Waluh dan Wringinagung sebagai wilayah pemukiman. Karena banyaknya warga Trenggalek yang dimakamkan, kuburannya pun disebut kuburan Galek.
Satu realitas yang tidak bisa ditolak adalah banyak irigasi kolonial dan peninggalan bangunan lainnya yang masih awet dan bermanfaat hingga saat ini.Â
Mengalahkan keawetan bangunan-bangunan yang dibuat di era kontemporer. Para pekerja pribumi, mengikuti perintah para insinyur kolonial, memberikan yang terbaik untuk membuat bangunan yang kokoh.
Penjajahan dengan bermacam wacana dan praktik penindasan masih meninggalkan banyak bangunan irigasi yang  memberikan manfaat bagi warga Jember untuk melanjutkan pertanian modern.Â
Pertanian masa kini pun masih bergantung kepada teknologi dan bangunan irigasi dari masa lalu. Bisa dibayangkan, tanpa Bendung Pondok Waluh, para petani di kawasan Kencong, Gumukmas, dan Jombang akan menggantungkan pada musim hujan untuk mengelola lahan mereka.
Melihat masih kuatnya Bendung Pondok Waluh, kita jadi sedih ketika membandingkan dengan kualitas irigasi yang dibangun pemerintah Republik Indonesia yang kondisinya tidak sekuat bangunan kolonial.Â
Pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak saya adalah apa yang membedakan pengerjaan proyek di masa kolonial dan pascakolonial. Bukankah secara bahan dan teknologi lebih lengkap dan canggih di masa pascakolonial?Â
Wajar kiranya kalau banyak orang berasumsi bahwa proyek-proyek yang digarap pemerintah di era kontemporer berkurang kualitasnya karena banyak praktik korupsi dalam pengerjaan.Â
Kalau asumsi tersebut benar, berarti pemerintah seharusnya malu karena di era kemerdekaan yang semestinya bisa memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, ternyata kualitas proyek untuk kepentingan umum kalah kualitas dari proyek di era kolonial.Â
BENDUNG PONDOK WALUH SEBAGAI WISATA WARISAN KOLONIAL
Sebagai warisan Politik Etis Belanda, Bendung Pondok Waluh memiliki sejarah pancang dari era kolonial dan pascakolonial.Â
Bukan hanya berkaitan dengan para insinyur, pekerja, dan sulitnya proses pembuatan bendung tersebut, tetapi juga berkaitan dengan tumbuhnya desa-desa yang berpenduduk mayoritas Jawa di kawasan Kencong, Gumukmas, dan Jombang.Â
Kehadiran Bendung Pondok Waluh telah memunculkan desa-desa di kawasan pertanian. Tentu saja, banyak cerita tentang permasalahan dan dinamika pertumbuhan sosial, ekonomi, dan budaya di desa-desa tersebut.Â
Termasuk, bagaimana masyarakat terus berusaha menjalani sebagian budaya lokal Jawa di tengah-tengah hasrat mereka untuk menjadi modern melalui pertanian warisan kolonial dan praktik konsumsi budaya modern dalam kehidupan sehari-hari.Â
Menilik dinamika tersebut, Bendung Pondok Waluh dan bendung-bendung lain di Jember, selain terus difungsikan untuk keperluan irigasi juga bisa didesain untuk menjadi wisata warisan kolonial (colonial heritage tourism).Â
Para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum bisa diajak untuk mengunjungi bendung yang bisa diakses dari arah Kecamatan Tanggul, Kencong, Gumukmas, Jombang, ataupun Semboro ini.Â
Mereka bisa diajak untuk mengenal teknologi Belanda di era kolonial yang cukup membantu untuk mengalirkan air sungai alami di Jember sehingga bisa bermanfaat untuk pertanian.Â
Selain itu, informasi sejarah pertanian di kawasan yang dialiri air dari Bendung Pondok Waluh dari kolonial hingga masa kini bisa disampaikan, sehingga para wisatawan bisa memiliki pengetahuan komprehensif.Â
Dinamika sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat perlu juga dipaparkan, sehingga para wisatawan bisa memahami bagaimana kontribusi bangunan irigasi yang mungkin dalam pikiran mereka sekedar berfungsi mengairi sawah, ternyata berperan penting dalam terwujudnya banyak desa.Â
Para wisatawan yang ingin istirahat bisa disediakan kafe atau warung di lahan kosong dekat bendung. Makanan dan minuman khas bisa disajikan sebagai bagian keunikan wilayah.Â
Kalau memungkinkan, para seniman rakyat seperti jaranan, campursari, dan yang lain bisa dihadirkan untuk menghibur para wisatawan.Â
Wisata warisan kolonial ini bukan hanya ditujukan untuk masyarakat Jember dan Indonesia, tetapi sangat mungkin dipromosikan ke Belanda dan negara-negara Eropa.Â
Dengan kemasan video kreatif atau foto-foto yang unik, diharapkan warga Belanda dan Eropa yang nenek-moyangnya pernah tinggal di Jember berkenan hadir. Mereka bisa diajak untuk menelusuri jejak-jejak historis keluarga mereka di Jember pada era kolonial.Â
Sangat disayangkan kalau warisan kolonial yang cukup banyak di Jember tidak bisa dikembangkan menjadi destinasi pariwisata, baik wisatawan lokal, nasional, maupun internasional.Â
Kalaupun Pemkab Jember mau serius, mereka bisa menggandeng pengelola irigasi, akademisi dan pelaku wisata untuk mendiskusikan dan mendesain paket wisata warisan kolonial yang tepat. Dampaknya, masyarakat juga akan merasakan keuntungan ekonomi, sekaligus kultural.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H