Menjadi wajar kalau UNESCO memandang penting keberadaan sistem terasering yang memadukan dimensi agraris-ekonomis dan ekologis di wilayah pegunungan yang rentan dieksploitasi dan mengalami kerusakan. Demi kepentingan perlindungan dan pemanfaatannya untuk kehidupan masyarakat, PBB menetapkan beberapa sistem terasering di dunia sebagai warisan dunia.Â
Menurut catatan Edison (2019), pada tahun 1995, UNESCO menetapkan terasering Ifugao, Cordillera, Filipina, sebagai warisan dunia. Di lahan terasering Ifugao, masyarakat menanam padi selama hampir 2000 tahun. Masyarakat tidak hanya menggunakan sistem irigasi dan pemanenan air hujan, tetapi juga pengetahuan lokal terkait keragaman hayati, konservasi dan agro-ekosistem.Â
Tahun 2012, sistem subak Bali ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia. Persawahan terasering yang menggunakan subak mencapai 19.500 hektar luasnya. Menariknya, subak menggunakan keyakinan religius Tri Hita Kirana yang berisi Parahyangan (relasi harmonis antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (relasi harmonis sesama manusia), dan Palemahan (relasi antara manusia dengan alam dan lingkungannya). Praktik subak di lahan terasering berhasil menjadikan Bali sebagai salah satu produsen padi di Indonesia.Â
Sementara, pada tahun 2013, bentang sawah seluas 16.630 ha di kawasan selatan Yunnan, Tiongkok, di kaki Gunung Ailao, ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Di kawasan ini, terdapat kurang lebih 3000 teras yang membentuk gugusan sawah terasering Honghe Hani. Untuk memaksimalkan aktivitas bercocok tanam di lahan terasering, masyarakat Hani juga menciptakan sistem irigasi yang kompleks.
Pengakuan internasional merupakan wujud apresiasi dunia terhadap kemampuan leluhur masa lalu yang dilanjutkan di masa kini dalam hal memformulasi dan mempraktikkan pengetahuan dan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. Selain itu, pengakuan tersebut sejalan dengan usaha para intelektual di tingkat global yang berusaha secara serius untuk menemukan alternatif bagi krisis ekologis yang belum mampu sepenuhnya diredam oleh pengetahuan dan teknologi modern.Â
Untuk itu, keberadaan terasering Panyaweuyan Majalengka dan terasiring lain di Jawa Barat memang cukup menarik untuk dipromosikan sebagai destinasi wisata yang cukup indah, sepertihalnya kawasan terasering Jatiluwih, Bali. Di era media sosial dengan beragam bentuknya, keindahan terasering tentu dengan cepat bisa mengundang wisatawan yang ingin menemukan spot selfie terbaik.Â
Namun, kalau pemerintah, akademisi, dan masyarakat hanya berkutat kepada maksimalisasi potensi wisata terasering, terdapat beberapa permasalahan yang kalau tidak diantisipasi bisa menimbulkan dampak negatif. Pertama, kurangnya kajian dan pemahaman terkait makna filosofis ngais pasir dan posisinya sebagai pengetahuan dan teknologi tradisional yang diyakini sekaligus dilakoni.Â
Ketika terasering tidak lagi diperbincangkan dalam ketiga pemahaman tersebut, masyarakat hanya akan mengetahuinya sebagai tempat bercocok tanam yang menguntungkan secara ekonomis serta sebagai destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.Â
Kedua, sepertihalnya kasus di Jatiluwih, tingginya kunjungan wisatawan mendorong investor membangun tempat usaha di sana. Memang itu sah-sah saja, tetapi kalau tidak diatur bisa mengurangi lahan terasering secara signifikan.