Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngais Gunung: Pengetahuan dan Teknologi Terasering di Jawa Barat

2 Juli 2022   05:46 Diperbarui: 2 Juli 2022   11:42 2604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terasering Panyaweuyan. Dok. Disparbud Jabar

Kemampuan untuk membuat terasering seperti ngais pasir juga menunjukkan kemampuan masyarakat untuk melakukan laku adaptasi terhadap lingkungan dengan kondisi kemiringan yang sejatinya sulit untuk dijadikan pemukiman dan pertanian. Namun, karena mereka perlu untuk melanjutkan kehidupan, rekayasa bentang alam pun dilakukan dengan tetap mematahui petuah-petuah leluhur yang melarang warga merusak lingkungan dan memanfaatkan lingkungan sesuai kebutuhan. 

Artinya, mereka memilih laku hidup bersama alam alih-alih mengeksploitasi secara massif (Hermawan, 2015). Maka, ketika makna filosofis dan PET masih diyakini dan diwujudkan dalam bentuk teknologi ngais pasir secara komunal, di situlah sejatinya kita bisa menaruh harapan akan pemertahanan dan pengembangan identitas budaya. 

Apa yang dimaksud dengan identitas budaya adalah nilai dan praktik bersama yang mengikat sebuah komunitas dalam prinsip integrasi antara keyakinan, pengetahuan, dan teknik tertentu sebagai acuan konsensual serta bergerak dinamis dari masa lalu ke masa kini. Prinsip dinamis ini memberikan peluang untuk tidak membekukan PET dan teknologi terasering, tetapi menggerakannya dalam mekanisme transformatif kebijakan pertanian serta terus menyosialisasikannya dalam ragam media dan bentuk.

TRANSFORMASI DINAMIS TERASERING 

Sebagai teknologi, sistem terasering bersifat kontekstual karena menyesuaikan dengan tingkat kemiringan dan kondisi tanah. Manfaat untuk kepentingan konservasi tanah yang sekaligus menunjang pertanian yang aman dan ramah lingkungan menjadikan sistem terasering dikembangkan dengan pendekatan dinamis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa bentuk terasering yang di kembangkan di Indonesia, seperti teras datar, teras kredit, teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kebun, teras saluran, dan teras batu.

Terasering Panyaweuyan. Dok. Disparbud Jabar
Terasering Panyaweuyan. Dok. Disparbud Jabar
Menurut Dariah et al (2004), teras datar yang biasanya dibuat petani di lahan dengan kemiringan kurang 3 % dengan tujuan memperbaiki pengaliran air dan pembasahan tanah. Teras kredit dibuat pada tanah yang landai dengan kemiringan 3-10 % dengan tujuan mempertahankan kesuburan tanah. Teras gulud yang dibuat pada tanah dengan kemiringan 10-50 % dengan tujuan mencegah hilangnya lapisan tanah. 

Kemudian teras bangku yang dibuat pada lahan dengan kelerengan 10-30 persen. Tujuannya untuk mencegah erosi pada lereng yang ditanami palawija. Selain itu terdapat teras individu yang biasa dibuat pada lahan dengan kemiringan 30-50 %. Teras jenis ini biasanya terdapat di kawasan tanaman perkebunan dengan curah hujan terbatas dan penutupan tanahnya cukup baik sehingga memungkinkan pembuatan teras individu.

Teras kebun dibuat untuk lahan dengan kemiringan 30-50 %. Teras ini hanya dilakukan pada jalur tanaman sehingga area tersebut terdapat lahan yang tidak diteras dan biasanya ditutup oleh vegetasi penutup tanah. Sementara, teras saluran atau dikenal istilah rorak atau parit buntu dibuat dengan teknik konservasi tanah dan air berupa pembuatan lubang-lubang buntu untuk meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Adapun teras batu menggunakan batu untuk membuat dinding dengan jarak yang sesuai di sepanjang garis kontur pada lahan miring.

Penerapan teknologi terasering dengan bermacam bentuknya untuk kawasan pertanian di wilayah pegunungan dan pengakuan pentingnya ngais pasir dalam mencegah laju kerusakan lahan pertanian di kawasan pegunungan membuktikan bahwa sistem pertanian yang diciptakan leluhur kita bisa berkontribusi bagi kehidupan di tengah-tengah hasrat eksploitatif manusia-manusia modern dengan bermacam kepentingannya.

Lebih jauh lagi, banyaknya kajian ilmiah terkait terasering yang dilakukan para akademisi membuktikan bahwa filosofi dan pengetahuan tradisional tentang alam yang diwujudkan dalam penciptaan teknologi tradisional yang biasanya dimaknai secara tradisional dengan bermacam stigmanya ternyata bisa dikembangkan menjadi entitas saintifik yang melampaui batasan waktu. 

Inilah salah satu kapasitas intelektual leluhur di mana mereka menggunakan pertimbangan dan pemikiran komprehensif berbasis relasi manusia-alam-Tuhan untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia di masa lalu hingga masa kini yang dilengkapi dengan makna-makna filosofis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun