Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ngais Gunung: Pengetahuan dan Teknologi Terasering di Jawa Barat

2 Juli 2022   05:46 Diperbarui: 2 Juli 2022   11:42 2604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terasering Yunnan. Dok. www.bbc.com

Karakteristik tersebut memosisikan PET pada dimensi welas asih dalam ruang ideal di mana pengetahuan masyarakat tentang alam sekaligus menjadi visi komunal untuk tidak menghancurkan lingkungan dan segala isinya. PET bukan semata-mata sistem pengetahuan dan tindakan, tetapi sistem pengetahuan, tindakan, dan keyakinan terintegrasi yang ditujukan tidak untuk mengeksploitasi dan mengendalikan alam lingkungan mereka sebebas-bebasnya (Berkes, 1993: 5).

Integrasi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial PET yang menimbang beberapa dimensi penting seperti: (1) makna simbolik melalui sejarah lisan, nama tempat, dan hubungan spiritiual; (2) kosmologi atau pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu modern di mana ekologi menjadi bagiannya; dan, (3) hubungan berbasis prinsip timbal-balik dan obligasi baik buat anggota komunitas maupun makhluk hidup lainnya serta lembaga manajemen sumber daya alam komunal berbasis pengetahuan dan makna bersama (Berkes, 1993: 5). 

Itulah mengapa PET tidak hanya berkaitan dengan kumpulan pengetahuan tetapi juga bisa dioperasionalkan untuk kepentingan-kepentingan ekologis seperti manajemen sumber daya alam, konservasi, dan yang lain (Menzies & Butler, 2006: 2).

Mengikuti kerangka berpikir di atas, ngais gunung bisa kita tempatkan sebagai PET karena masyarakat menerapkannya berdasarkan cara pandang hubungan yang tidak eksploitatif antara manusia dan alam. Memang, para petani membutuhkan manfaat ekonomis dari tanah dan air yang ada di kawasan pegunungan, tetapi mereka memahami bagaimana mengatur sumberdaya alam untuk keperluan hidup yang sekaligus bertujuan untuk mengkonservasi kawasan pegunungan. 

Pemahaman berdasarkan pengamatan sehari-hari serta keluhuran makna filosofis tentang gunung sebagai tempat sakral, kebaikan air dari gunung, dan kontribusi penting ibu bumi/ibu pertiwi menjadikan mereka memformulasi konsep yang masuk akal tentang sistem pertanian di kawasan lereng.

Tentu kita semua mengerti bagaimana masyarakat memahami makna filosofis gunung sebagai tempat sakral yang di dalamnya terdapat bermacam flora, fauna, sumber air, sungai, serta sebagai kawasan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tidak mengherankan kalau kita menemukan bermacam bentuk simbolik gunung, dari kuliner, kesenian, hingga bangunan. 

Semua itu merupakan upaya manusia untuk memuliakan dan menghormati gunung sebagai entitas yang sangat penting bagi kehidupan. Menjadi wajar kalau dalam praktik pertanian mereka juga tidak ingin sepenuhnya melupakan makna filosofis yang mereka pahami tentang gunung. Itulah etika dan nilai komunal yang harus dirawat dan diwujudkan melalui kerja-kerja pertanian yang tidak merusak karena kerusakan akan kembali kepada mereka dalam wujud kerugian akibat rusaknya ekosistem.

Wujud dari upaya untuk menghormati gunung adalah memformulasi pengetahuan komunal berbasis pengematan bagaimana pergerakan air di lahan dengan kemiringan tertentu di lereng-lereng gunung. Dipilihnya teknik terasering merupakan wujud ketidakinginan untuk melihat melorotnya tanah gunung yang bisa berdampak destruktif. Di sinilah kita bisa menemukan bagaimana makna filosofis “menjaga kehormatan dan kemuliaan gunung” yang sejatinya kembali kepada kehormatan dan kebahagiaan manusia. 

Kaum muda menikmati terasering Panyaweuyan. Dok. IG eksploremajalengka
Kaum muda menikmati terasering Panyaweuyan. Dok. IG eksploremajalengka

Kita bisa membandingkannya dengan cara kerja sabuk yang menjadikan celana kita tidak mudah melorot (Suprihati, 2019). Maka, nama ngais pasir dalam bahasa Jawa adalah nyabuk gunung yang secara harafiah bermakna “memberi gunung sabuk.” Keinginan untuk tetap memperkuat dan memperkokoh posisi tanah gunung diwujudkan dalam teknologi terasering yang disesuaikan dengan kemiringan tanah di masing-masing wilayah. 

Dampak positifnya adalah aliran air bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak memelorotkan tanah dalam bentuk erosi. Dengan tidak terjadinya erosi, maka masyarakat tidak akan merasa malu karena terjadinya bencana dan krisis ekologis menunjukkan tingkah manusia yang tidak mampu lagi menjaga relasi harmonis dengan alam sehingga mereka akan mendapatkan penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun