Namun, ketika manusia sudah tidak mampu lagi menyeimbangkan nafsu untuk mengeruk isi Watangan secara rakus, maka 'para bidadari' itu bisa menjadi bencana yang siap meluluhlantakkan kehidupan dan kebudayaan manusia.
Secara lebih luas, keberadaan gunungan, alim ulama, para warog, para santri, tari gambyong, kesenian reyog, dan masyarakat yang mengiringi Kades dan keluarganya membawa pesan simbolik. Bahwa, segenap elemen masyarakat akan selalu berusaha mempertahankan kawasan Watangan sebagai benteng alam dengan ragam kegiatan agama dan budaya.Â
Mereka akan terus melangitkan doa, membumikan harapan bersama-sama, sehingga para penguasa harus memperhatikan itu sebagai gerakan kultural dan religi bertujuan ekologis.
Kalaupun di Watangan terdapat mineral tambang, bukan berarti pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten bisa seenaknya mengizinkan proses eksplorasi sebagai tahapan eksploitasi. Bagi warga Lojejer, keberadaan Watangan adalah kehidupan mereka.Â
Karena ketika Watangan hancur oleh proses pertambangan, maka potensi tsunami akibat megathrust selatan Jawa bisa mengancam setiap saat. Selain itu, angin laut yang langsung berhembus ke kawasan pemukiman dan pertanian akan mengubah lanskap dan ekosistem yang mengharuskan warga melakukan adaptasi panjang. Akibat-akibat buruk itulah yang harus diperhatikan pemerintah kalau mereka mau tetap dihormati oleh warga masyarakat.Â
Tidak boleh lagi ada tindakan gegabah yang melegalkan pertambangan di tepi pantai, apalagi kawasan tersebut menjadi benteng alam yang sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Apalah arti kehidupan bernegara ketika pemerintah menjerumuskan warga negaranya ke dalam keadaan hidup yang serba terancam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H