Fungsi film bagi bangsa pascakolonial, seperti Indonesia, adalah untuk menyebarkan gagasan dan wacana kolektif tentang bagaimana membentuk kesadaran baru yang terlepas dari pengaruh-pengaruh kolonialisme dan anak-turunnya di masa kini (Berry dikutip dalam Zhang, 2004: 6).Â
Dalam paradigma konstruktif tersebut, ada beberapa titik-tekan yang bisa dilakukan. Pertama, menghadirkan nostalgia masa lampau yang penuh kejayaan dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif untuk mempersatukan bangsa (McMillin, 2007: 77-78; Higson, 2000: 60-61). Kedua, menarasikan wacana kebangsaan, pembangunan, penguatan kedaulatan dan integrasi, serta mempersiapkan bangsa untuk berpartisipasi dalam kehidupan antarbangsa (Hallin, 1998: 155-157).Â
Ketiga, membicarakan persoalan kultural dalam konteks yang tidak kaku, tetapi dinamis dan terkadang penuh kontestasi di tengah-tengah pengaruh ragam budaya dan teknik filmis dari luar, meskipun secara naratif tetap menegaskan identitas kolektif melalui pola dan rangkaian narasi bersifat lokal (Berry & Farquhar, 2006: 1-8; Yearwood, 1987).Â
Beberapa titik-tekan tersebut menunjukkan pentingnya konstruksi budaya lokal---termasuk di dalamnya masa lampau---dan dinamikanya dalam industri perfilman. Tentu saja, budaya lokal dalam konteks film tidak bisa semata-mata dipahami sebagai kesenian maupun ritual, tetapi sebagai makna dan wacana yang direpresentasikan secara ideal sebagai identitas komunal masyarakat.
Masalahnya, apakah para sineas "berkenan" me-layar-kan permasalahan dan dinamika budaya sesuai dengan kepentingan untuk memproduksi wacana dan pengetahuan yang berdaya-guna bagi kehidupan komunal masyarakat dan kebangsaan, sementara mereka memiliki kepentingan ekonomi sendiri yang bisa jadi berbeda dengan kehendak rezim negara?Â
Atau, jangan-jangan para sineas lebih memilih untuk menegosiasikan wacana dan pengetauan terkait budaya lokal yang lebih sesuai untuk pemberdayaan industri film itu sendiri?Â
Secara genealogis, konstruksi budaya dalam film Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kondisi historis partikular yang melingkupinya. Dalam hal ini termasuk kebijakan perfilman dan kebudayaan pada masing-masing rezim, orientasi industri perfilman, serta kondisi sosial, ekonomi, dan politik.Â
Setiawan (2013b) memaparkan bahwa di masa Soekarno, sebelum 1965, para sineas yang berbeda faksi ideologis mendapatkan kebebasan yang lumayan untuk me-layar-kan persoalan budaya dan kebangsaan, sedangkan di masa Soeharto, para sineas dibebani fungsi integratif budaya tradisional untuk kepentingan integrasi dan pembangunan nasional sembari meniadakan aspek-aspek feodalnya.Â
Adapun di era 2000-an, budaya lokal digambarkan lebih transformatif, tetapi bukan untuk kepentingan pemberdayaan lokalitas itu sendiri, melainkan untuk memasukkannya ke dalam ideologis pasar (Setiawan, 2013, 2010).
Seringkali, konsensus antara rezim negara dan insan perfilman tidak terpenuhi, karena perbedaan paradigma dan kepentingan ekonomi-politik dalam memosisikan konstruksi budaya dalam narasi film. Kalaupun insan perfilman menyepakati paradigma yang diajukan oleh pemerintah, itu semata-mata dilakukan karena terpaksa demi menghindari gunting sensor.Â
Namun, berkaca dari pengalaman Korea Selatan, bermacam kepentingan yang dimiliki oleh rezim negara dan insan perfilman bisa dipertemukan ketika  negara mampu mengembangkan kebijakan yang bisa merangkul dan memberikan jaminan bagi keberlangsungan kreatif.Â