Dalam pandangan ideal, perempuan Jawa dari masa lalu hingga masa kini dikonstruksi sebagai subjek yang membawa karakteristik lemah-lembut, kalem, penuh kesopanan, dan masih banyak lagi. Pandangan tersebut menempatkan perempuan Jawa sebagai sosok yang harus membawa norma kelembutan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bagi mereka yang tidak bisa memenuhi norma tersebut, seringkali diposisikan sebagai liyan atau "durung Njawani" (belum menjadi Jawa, belum memahami budaya Jawa).
Pertanyaannya, apakah konstruksi dan pandangan demikian memang berasal dari akar masyarakat Jawa itu sendiri ataukah ada kekuatan atau subjek lain yang memainkannya untuk kepentingan ideologis dan politik tertentu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik kiranya untuk membaca dan memahami tulisan Suzanne A. Brenner, "Why Women Rule the Roost: Rethinking Javanese Ideologies of Gender and Self-Control" (1995) yang berisi kajian etnografi yang dilakukannya mengenai "ideologi gender" dan "pengendalian diri" dalam jagat perempuan Jawa.
Dalam penelitian yang dilakukan di Solo dan Yogyakarta, Brenner menemukan realitas betapa di balik konsep perempuan Jawa sebagai "konco wingking" (kawan di belakang) terdapat konteks historis dan kultural yang melingkupinya dan sampai saat ini menyisakan peran signifikan perempuan dalam ranah keluarga dan sosial, meskipun pengaruh tradisi keraton dan Islam dalam Jawa kontemporer masih kuat.
KUASA PEREMPUAN DARI RUMAH HINGGA PASAR
Dalam beberapa penelitian etnografi banyak ditemukan data betapa para perempuan Jawa pada dasarnya mempunyai peran yang cukup signifikan dalam kehidupan rumah tangga dan dalam banyak hal mempunyai kesetaraan dalam peran. Peran dominan perempuan Jawa dalam kehidupan rumah tangga, terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi di mana seorang istri lebih banyak berperan dalam mengatur lalu-lintas keuangan keluarga.
Perempuan adalah 'ratu' dalam mengatur kehidupan ekonomi keluarga sedangkan laki-laki bertugas mencari uang dan memberikan penghasilannya untuk dikelola oleh istri. Hal ini bukan menandakan bahwa perempuan Jawa hanya berkutat aktivitas rumah tangga. Lebih dari itu, aktivitas tersebut lebih menunjukkan betapa perempuan Jawa bisa berbagi peran dengan kaum laki-laki dalam mengelola keluarga dan betapa tergantungnya sebuah keluarga terhadap kehadiran seorang ibu.
Perempuan Jawa dalam kehidupan keluarga pada zaman dahulu juga mendapatkan hak ekonomi yang sama dengan laki-laki. Seorang anak perempuan mendapatkan harta warisan yang sama dengan anak laki-laki. Hal itu mulai berubah ketika pengaruh hukum warisan ala Islam masuk di Indonesia yang membuat perempuan memperoleh harta warisan lebih sedikit di banding laki-laki.
Meskipun demikian, perempuan dengan harta warisan yang diperoleh dari orang tuanya akan memberikan "posisi yang kuat" ketika ia berumah tangga. Artinya, seorang istri tidak harus terlalu bingung ketika ia bercerai dari suaminya karena secara ekonomi ia masih mempunyai harta warisan dari orang tuanya yang cukup untuk melanjutkan kehidupannya. Di samping peran domestik, perempuan Jawa juga memainkan peran-peran sosialekonomi yang cukup strategis dalam menggerakkan roda kehidupan masyarakat.
Adalah hal yang sangat biasa kita menemukan banyak perempuan melakukan aktivitas perdagangan di pasar maupun wilayah-wilayah komersial lainnya. Di sebagian besar pasar tradisional di Solo dan Yogya, dan juga wilayah-wilayah Jawa lainnya, kita bisa menemukan betapa ruang publik ekonomi lebih banyak diisi oleh perempuanperempuan tangguh yang melakukan transaksi niaga.
Dalam banyak kasus, penghasilan perempuan Jawa yang berdagang di pasar seringkali lebih banyak dibandingkan penghasilan suaminya. Bahkan dalam ranah pekerjaan modern seperti guru, dokter, pegawai negeri sipil, dan lain-lain, perempuan Jawa juga mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Namun, peran dominan tersebut ternyata masih saja menempatkan perempuan sebagai "kelas kedua" yang berada dalam "posisi selalu diawasi."
Subordinasi tersebut memang sepertinya tidak masuk akal ketika dikomparasikan dengan peran strategis perempuan dalam sektor ekonomi. Tentu saja persoalan tersebut tidak cukup hanya dikaji melalui 'apa-apa' yang tampak dalam jagat Jawa kontemporer. Lebih dari itu, dibutuhkan penelusuran konteks historis dan sosio-kultural Jawa untuk menemukan perspektif baru tentang persoalan perbedaan gender dalam masyarakat Jawa, khususnya yang berkaitan dengan perempuan.
AKAR SUBORDINASI: PRIYAYI, KOLONIAL, AGAMA
Apabila ditelusuri dari konteks historis, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi marjinalisasi perempuan Jawa, yakni: (1) nilai-nilai tradisi priyayi; (2) kepentingan kolonial; dan (3) pengaruh ajaran Islam tentang perempuan yang disalahtafsirkan.
Tradisi priyayi secara langsung atau tidak langsung mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam mengkonstruksi citra dan peran perempuan dalam masyarakat Jawa. Berbeda dengan tradisi rakyat kebanyakan yang diwarnai dengan tradisi egaliter dan blokosuto (apa adanya) sehingga terkesan kasar, kalangan priyayi yang hidup di keraton, baik Solo maupun Yogyakarta, lebih banyak mempertahankan nilai-nilai "alus" (halus/lembut).
Nilai-nilai tersebut penting untuk dipelihara karena akan berkaitan dengan status yang membedakan priyayi dan rakyat kebanyakan serta memelihara kuasa. Di samping itu, nilai-nilai kelembutan berkaitan erat dengan kemampuan seseorang untuk mampu mengola potensi diri, hati, dan pikirnya sehingga akan memperoleh kesakten (kesaktian) yang akan berguna bagi kemapanan kekuasaannya.
Dalam pandangan priyayi, mereka yang banyak bergulat dengan 'jagat kasar', akan sulit untuk memperoleh level kesakten tersebut karena mereka yang banyak bicara dan berperilaku kasar tentau tidak akan bisa menggunakan pikiran dan hatinya dengan jernih. Dan yang mampu melakukan semua itu adalah kaum laki-laki karena dianggap lebih bisa mengendalikan diri, pikiran, dan hatinya.
Maka, sangat jarang perempuan di keraton yang mempunyai daya linuwih. Karena perempuan Jawa biasa lebih banyak bergulat pada ruang-ruang ekonomi pasar, maka mereka dianggap tidak akan mampu memperoleh derajat kuasa yang dominan dalam struktur masyarakat karena mereka lebih sering berperilaku kasar.
Menjadi sangat wajar ketika realitas menunjukkan bahwa meskipun perempuan Jawa biasa lebih banyak berperan dalam kehidupan rumah tangga dan sosial, tetapi lelaki tetap dianggap superior karena mereka lebih mempunyai kemampuan untuk pengendalian diri.
Lebih jauh, Brenner menjelaskan bahwa ide tentang status rendahan bagi perempuan yang menguasai ruang dan praktik ekonomi (tidak hanya menyebar di kalangan priyayi tetapi juga masyarakat kebanyakan, non-elit) menunjukkan betapa kuatnya ideologi priyayi dalam masyarakat Jawa.
Ideologi priyayi ini bisa dilacak lebih jauh lagi pada perkawinan antara nilai-nilai aristokratik Jawa dengan kode-kode pekerjaan untuk pegawai birokrasi kolonial dari golongan lokal (pada abad ke-19) yang disepakati oleh elit Belanda dan Jawa dan dilegitimasi dengan referensi tradisi Jawa. Para priyayi lebih mendukung ideologi yang lebih melayani negara dari pada harus memikirkan kekayaan mandiri, yang merupakan sumber utama dari prestis di Jawa.
Pandangan tentang perdagangan sebagai sesuatu yang kasar sebenarnya lebih melindungi kepentingan priyayi dan kolonial dan digunakan untuk melawan moneyed elite (kelompok elit masyarakat yang memperoleh status sosial tinggi karena kekayaannya, pen) yang bisa saja menjadi pesaing mereka dalam hal status dan kekuasaan. Dengan kata lain, terdapat simbiosis mutualisme antara kepentingan priyayi dan kolonial.
Tradisi Islam juga bisa dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan subordinasi perempuan dalam masyarakat Jawa. Perkembangan pesat ajaran Islam di sebagian besar wilayah Jawa, ternyata membawa konsekuensi yang cukup dramatis bagi eksistensi perempuan Jawa.
Perubahan tersebut lebih banyak berkaitan dengan disiarkannya "tafsir ajaran Islam" tentang perempuan yang lebih banyak memposisikan mereka sebagai makhluk yang harus dikendalikan karena dipenuhi dengan hawa nafsu. Tafsir ini sangat merugikan karena pada akhirnya kaum laki-laki bisa mendapatkan kekuasaan yang cukup dominan dalam mengatur perempuan, baik dalam keluarga maupun sosial.
Dalam hal warisan perempuan juga mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Perempuan akhirnya hanya menjadi 'pelengkap' dan'penghibur' bagi laki-laki. Berkembangnya tradisi poligami dalam masyarakat Jawa saat ini tidak bisa dilepaskan dari kuasa laki-laki dalam tafsir ajaran Islam yang banyak dimanfaatkan oleh mereka yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan nafsunya.
Dalam konteks itulah tafsir ajaran yang mengatakan bahwa perempuan itu lebih "banyak nafsunya," bisa digugurkan dan terbukti hanya menjadi alat politis kaum laki-laki.
SIMPULAN
Justifikasi agama dan tradisi tentang potensi destruktif perempuan yang berkaitan dengan, kiranya perlu dikoreksi lagi. Banyak kasus menunjukkan betapa kaum laki-laki lebih tidak bisa mengendalikan nafsunya dibanding perempuan. Ketika diberikan uang lebih, sangat mungkin mereka akan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak baik, semisal berjudi atau mencari kesenangan lainnya.
Wajar kalau para perempuan Jawa sangat ketat dalam mengendalikan keuangan keluarga dan tidak mudah memberikan uang kepada suaminya apabila alasannya tidak jelas. Pandangan priyayi yang mengatakan bahwa kaum laki-laki lebih bisa mengendalikan diri serta mengembangkan potensi kesaktiannya-nya dibanding perempuan juga perlu direvisi.
Dalam banyak kasus para ibu Jawa lebih bisa mengendalikan dirinya dengan berpuasa. Mereka juga seringkali tirakat ketika anak-anak mereka hendak ujian atau tes pekerjaan. Dengan kata lain, pandangan yang mengatakan bahwa perempuan itu kurang bisa mengendalikan diri dan nafsunya hanyalah politik wacana yang digunakan kekuatan dominan laki-laki dengan mencari pelegalan dalam tradisi dan agama sehingga perempuan selalu berada dalam bayang-bayang kuasanya.
Ke depan, kajian gender sangat mungkin mengambil inspirasi dari apa-apa yang dilakukan Brenner. Memang tidak mungkin cukup satu paradigma yang bisa berlaku universal. Dibutuhkan lebih banyak paradigma untuk membeda persoalan gender dalam masyarakat, terutama masyarakat lokal.
Brenner telah memberikan inspirasinya secara cerdas dalam membongkar politik wacana dalam tradisi Jawa serta pengaruhnya dalam masyarakat. Namun, kita juga tetap harus mengedepankan perspektif kritis untuk masuk ke dalam "ruang-ruang sakral" yang selama ini berlindung di balik tradisi dan agama.
Meskipun sudah banyak perubahan terkait pendidikan, peran, dan kontestasi perempuan Jawa, terutama pascreformasi di mana kebebasan untuk berpendidikan menengah dan tinggi semakin luas, bukan berarti praktik subordinasi perempuan berbasis adat dan agama hilang sepenuhnya. Kita masih bisa menjumpai bagaimana para perempuan Jawa diposisikan sebagai subjek subordinat yang harus manut (mematuhi dan mengikuti) pada apa kata suami.
Namun, kita juga harus jeli membaca bahwa banyak transformasi peran aktif perempuan Jawa dari masa lalu berlangsung di masa kini. Semakin banyak perempuan yang mampu berkompetisi untuk mengisi ruang-ruang akademis dan profesional di kota maupun di desa, tanpa harus mengabaikan fungsi keluarga.
RUJUKAN
Brenner, Suzanne A. 1995. “Why Women Rule the Roost: Rethinking Javanese Ideologies of Gender and Self-Control”. In Aihwa Ong and Michael G. Peletz (eds). Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. Los Angeles: University of California Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H