Menjadi sangat wajar ketika realitas menunjukkan bahwa meskipun perempuan Jawa biasa lebih banyak berperan dalam kehidupan rumah tangga dan sosial, tetapi lelaki tetap dianggap superior karena mereka lebih mempunyai kemampuan untuk pengendalian diri.Â
Lebih jauh, Brenner menjelaskan bahwa ide tentang status rendahan bagi perempuan yang menguasai ruang dan praktik ekonomi (tidak hanya menyebar di kalangan priyayi tetapi juga masyarakat kebanyakan, non-elit) menunjukkan betapa kuatnya ideologi priyayi dalam masyarakat Jawa.Â
Ideologi priyayi ini bisa dilacak lebih jauh lagi pada perkawinan antara nilai-nilai aristokratik Jawa dengan kode-kode pekerjaan untuk pegawai birokrasi kolonial dari golongan lokal (pada abad ke-19) yang disepakati oleh elit Belanda dan Jawa dan dilegitimasi dengan referensi tradisi Jawa. Para priyayi lebih mendukung ideologi yang lebih melayani negara dari pada harus memikirkan kekayaan mandiri, yang merupakan sumber utama dari prestis di Jawa.Â
Pandangan tentang perdagangan sebagai sesuatu yang kasar sebenarnya lebih melindungi kepentingan priyayi dan kolonial dan digunakan untuk melawan moneyed elite (kelompok elit masyarakat yang memperoleh status sosial tinggi karena kekayaannya, pen) yang bisa saja menjadi pesaing mereka dalam hal status dan kekuasaan. Dengan kata lain, terdapat simbiosis mutualisme antara kepentingan priyayi dan kolonial.Â
Tradisi Islam juga bisa dipandang sebagai salah satu faktor yang menyebabkan subordinasi perempuan dalam masyarakat Jawa. Perkembangan pesat ajaran Islam di sebagian besar wilayah Jawa, ternyata membawa konsekuensi yang cukup dramatis bagi eksistensi perempuan Jawa.Â
Perubahan tersebut lebih banyak berkaitan dengan disiarkannya "tafsir ajaran Islam" tentang perempuan yang lebih banyak memposisikan mereka sebagai makhluk yang harus dikendalikan karena dipenuhi dengan hawa nafsu. Tafsir ini sangat merugikan karena pada akhirnya kaum laki-laki bisa mendapatkan kekuasaan yang cukup dominan dalam mengatur perempuan, baik dalam keluarga maupun sosial.Â
Dalam hal warisan perempuan juga mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Perempuan akhirnya hanya menjadi 'pelengkap' dan'penghibur' bagi laki-laki. Berkembangnya tradisi poligami dalam masyarakat Jawa saat ini tidak bisa dilepaskan dari kuasa laki-laki dalam tafsir ajaran Islam yang banyak dimanfaatkan oleh mereka yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan nafsunya.Â
Dalam konteks itulah tafsir ajaran yang mengatakan bahwa perempuan itu lebih "banyak nafsunya," bisa digugurkan dan terbukti hanya menjadi alat politis kaum laki-laki.
SIMPULAN
Justifikasi agama dan tradisi tentang potensi destruktif perempuan yang berkaitan dengan, kiranya perlu dikoreksi lagi. Â Banyak kasus menunjukkan betapa kaum laki-laki lebih tidak bisa mengendalikan nafsunya dibanding perempuan. Ketika diberikan uang lebih, sangat mungkin mereka akan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak baik, semisal berjudi atau mencari kesenangan lainnya.