Faktor kedua adalah setiap manusia pasti mempunyai memori kolektif (collective memory) tentang hantu, meskipun tidak setiap orang bisa melihat dengan mata telanjang makhluk yang sudah ada sebelum Nabi Adam AS diciptakan ini. Dan, kita di Indonesia sudah sangat biasa dengan cerita-cerita hantu yang bergentayangan di seputar alam manusia, mulai kuntilanak, pocong, suster ngesot, wewe gombel, hingga hantu si muka rata.Â
Mulai kecil hingga dewasa kita sudah sangat familiar dengan cerita-cerita menyeramkan seputar eksistensi mereka yang suka menakut-nakuti manusia sehingga ketika certia-cerita itu diangkat ke dalam layar perak, maka rasa penasaran membawa penonton untuk menyaksikannya.Â
Film. Begitu juga dengan Rizal Matovani yang membuat Jelangkung (2001) dan Kuntilanak (2006).Â
Maka, sangat masuk akal kalau para sutradara muda seperti Rudy Sujarwo membuat film Pocong 2 (2006) yang merupakan kelanjutan Pocong 1 yang tidak sempat beredar karena dilarang oleh Lembaga SensorRupa-rupanya para sineas sadar betul tentang faktor rasa takut dan memori kolektif tentang eksistensi hantu dalam kehidupan manusia. Komodifikasi rasa takut dan rupa-rupa hantu lokal menjadi sumber inspirasi kreativitas yang sepertinya tidak pernah habis. Menariknya, dari beberapa cerita yang diangkat, ternyata pernah menjadi perbincangan ramai di masayrakat, bahkan dianggap sebagai kisah yang benar-benar ada atau nyata, terlepas benar atau tidaknya.Â
Salah satu film yang diklaim berasal dari kisah nyata adalah Hantu Pondok Indah (Siregar, 2006), meskipun belakangan dikatakan bahwa keangkeran tersebut hanya mitos. Hantu Bangku Kosong (Kardit, 2006) dan Hantu Jeruk Purut (Pagayo, 2006) merupakan film lain yang diangkat dari cerita mistis di masyarakat. Keterkenalan cerita mistis tersebutlah yang mendorong produksi film itu, karena diharapkan penonton akan berbondong-bondong menonton.Â
Dan dalam iklim industri budaya, popularitas menjadi hal yang penting karena motivasi utama dalam produksi sebuah karya memang untuk memperoleh keuntangan sebanyak-banyaknya. Adorno (1997: 25) menjelaskan bahwa komoditas kultural dari industri dikendalikan oleh prinsip perwujudannya sebagai nilai, dan bukan oleh muatan-muatan spesifiknya ataupun formasi harmonisnya. Keseluruhan praktik industri budaya mentransfer motif keuntungan secara telanjang dalam bentuk-bentuk kulturalnya.Â
Dalam rangka untuk memperoleh keuntungan maka pilihan untuk melakukan komodifikasi terhadap cerita-cerita populis yang berkembang di masyarakat merupakan pilihan yang tepat. Tentu saja diangkatnya cerita tentang hantu-hantu lokal ke dalam layar perak merupakan sebuah strategi populis dari para sineasnya.Â
Karena dengan mengusung cerita yang begitu terkenal di masyarakat, maka mereka sebenarnya sudah mendapatkan modal untuk popularitas film yang dibuat. Meskipun kebenaran kisahnya bisa jadi hanya menjadi cerita lisan yang menakutkan karena sering diperbincangkan. Ketika film semakin populer maka bisa dipastikan penghasilan yang akan didapatkan dari pemutaran di bioskop semakin meningkat.Â
Motivasi untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya inilah yang kemudian dianggap menjadikan industri budaya kurang bermutu, remeh-temeh, dan hanya mengajak penonton menjadi subjek passif. Film, misalnya, dianggap hanya menghadirkan komodifikasi kehidupan yang tidak memberikan apa-apa selain kesenangan sesaat ataupun sekedar menggiring penonton menjadi subjek yang malas untuk berpikir secara mendalam karena semua sudah ditampilkan dengan sederhana dan mudah dalam film.Â
Subjek menjadi terbelenggu dalam ruang-ruang sempit kultural yang hanya bersifat superfisial. Strinati (2004: 61) mengatakan bahwa Adorno menganggap keterbelengguan sebagai individu ini menjadi penghalang utama bagi lahirnya pencerahan pribadi sehingga individu-individu tidak memiliki kebebasan dalam menilai dan memutuskan secara sadar pilihan-pilihan bagi diri mereka sendiri. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan penipuan massal.Â