Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dua Cangkir Kopi di Tepi Laut Jawa

8 April 2022   05:09 Diperbarui: 8 April 2022   05:16 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DUA CANGKIR KOPI DI TEPI LAUT JAWA (1)

Pada detik ketika embun memamerkan kemesraannya di keningmu: suara lirih doa dari empat penjuru bertemu dalam hening cahaya temaram menuntunku pada sujud tanpa kutub. Ada sejumput kisah, dititipkan setetes embun melukis pipimu dalam kecupan kecil, memaksaku ngembara dalam perjalanan senyap menjelang subuh.

Pada sebentuk senyum membuka merah di ufuk timur, helai demi helai rambut merangkul bersama restu pagi. Tak perlu marah ketika embun sebentar lagi melanglang ruh. Ada secuil riuh, dilarutkan angin mencumbu pori-pori kulitmu bersama kidung diagungkan dalam gending-gending indah. 

Siang menjadi begitu berpeluh, tetapi langkah kecilmu menuntunku pada telaga, menemukan sabana, mencumbu lembah dan bukit, melepaskan dendam kepada mereka yang selalu menikam: "untuk sebuah kemenangan kecil, kita memulai kata dengan cerita sederhana, menyempurnakan rindu di atas bumi."

Inilah dongeng kecil disematkan pada ketidakterbatasan semesta: beranak-pianak dalam pencarian tanpa lelah demi sebuah senyum di ujung hari. Bukankah dua cangkir kopi di tepi Laut Jawa dalam kuasa senja akan menuliskan beribu-ribu puisi? Dan, saat itu, kita melantunkan kinanti tak pernah menuntut.

Jember, 07 April 2022 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

DUA CANGKIR KOPI DI TEPI LAUT JAWA (2)

Kalau ada yang tersisa dari pengembaraanmu, biarkan itu menjadi sejumput debu, menyusun ritme perjumpaan.  Ada debur melampaui ujung pulau bersama kidung siang hendak pulang ke peraduan. Ada cahaya matahari mencumbu malam bersama manusia-manusia terhormat terus larut dalam dendang samudra: bergerak demi harapan penerus masa. 

Dua cangkir kopi di tepi Laut Jawa cukuplah meluruhkan lelah perjalanan. Aku diam, demi sudut-sudut mata dipeluk kepulan hangat dari bibirmu: "tarian orang-orang biasa di sudut-sudut kota adalah perjuangan menegaskan cinta begitu berharga, melanjutkan kehidupan tak pernah sederhana." 

Begitulah. Dan, mari kita berjalan mengakrabi debu bercampur embun: menemukan narasi-narasi kecil tersisa dari keteguhan merawat hidup terus direkam dalam percakapan demi percakapan sepanjang zaman. Tak perlu risau ditulis dalam buku harian, ketika jemari mulai menetapkan puisi bersama lekuk demi lekuk rindu bersenandung, pelan.  

Jember, 08 April 2022  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun