DUA CANGKIR KOPI DI TEPI LAUT JAWA (1)
Pada detik ketika embun memamerkan kemesraannya di keningmu: suara lirih doa dari empat penjuru bertemu dalam hening cahaya temaram menuntunku pada sujud tanpa kutub. Ada sejumput kisah, dititipkan setetes embun melukis pipimu dalam kecupan kecil, memaksaku ngembara dalam perjalanan senyap menjelang subuh.
Pada sebentuk senyum membuka merah di ufuk timur, helai demi helai rambut merangkul bersama restu pagi. Tak perlu marah ketika embun sebentar lagi melanglang ruh. Ada secuil riuh, dilarutkan angin mencumbu pori-pori kulitmu bersama kidung diagungkan dalam gending-gending indah.Â
Siang menjadi begitu berpeluh, tetapi langkah kecilmu menuntunku pada telaga, menemukan sabana, mencumbu lembah dan bukit, melepaskan dendam kepada mereka yang selalu menikam: "untuk sebuah kemenangan kecil, kita memulai kata dengan cerita sederhana, menyempurnakan rindu di atas bumi."
Inilah dongeng kecil disematkan pada ketidakterbatasan semesta: beranak-pianak dalam pencarian tanpa lelah demi sebuah senyum di ujung hari. Bukankah dua cangkir kopi di tepi Laut Jawa dalam kuasa senja akan menuliskan beribu-ribu puisi? Dan, saat itu, kita melantunkan kinanti tak pernah menuntut.
Jember, 07 April 2022Â
DUA CANGKIR KOPI DI TEPI LAUT JAWA (2)
Kalau ada yang tersisa dari pengembaraanmu, biarkan itu menjadi sejumput debu, menyusun ritme perjumpaan. Â Ada debur melampaui ujung pulau bersama kidung siang hendak pulang ke peraduan. Ada cahaya matahari mencumbu malam bersama manusia-manusia terhormat terus larut dalam dendang samudra: bergerak demi harapan penerus masa.Â
Dua cangkir kopi di tepi Laut Jawa cukuplah meluruhkan lelah perjalanan. Aku diam, demi sudut-sudut mata dipeluk kepulan hangat dari bibirmu: "tarian orang-orang biasa di sudut-sudut kota adalah perjuangan menegaskan cinta begitu berharga, melanjutkan kehidupan tak pernah sederhana."Â