Sebagai contoh, Sowards (2003) menjelaskan bahwa MTV Asia, termasuk di dalamnya Indonesia, berhasil melebur ke dalam hasrat musikal kaum muda di level Asia dengan menampilkan tayangan-tayangan yang menampilkan musisi Barat dan musisi lokal, sesuai slogan “think globally, act locally” serta program-program reality show yang merepresentasikan gaya hidup Barat, genre musik Barat, komersialisme, konsumerisme, serta kewajaran globalisasi dalam kehidupan terkini.
Akibatnya, tidak hanya gaya hidup kaum muda Asia yang digerakkan oleh hasrat ‘menjadi’ Barat di ranah lokal, tetapi juga genre musik para musisi yang semakin ter-Baratkan. Program-program televisi (komedi situasi, dokumenter, film serial, dll) yang diproduksi oleh Amerika Serikat maupun negara-negara Barat lainnya.
Bukan hanya saja memperluas jangkauan global kapitalisme akhir, tetapi juga mempunyai kepentingan ideologis untuk menyebarkan bentuk pengetahuan, norma, dan identitas yang ideal kepada masyarakat planet tentang bagaimana memahami budaya global.
Menurut Fulton (2005: 5-7), narasi formulaik dalam media pada abad kapitalisme akhir berperan besar untuk menaturalisasi kepentingan ideologis kelas pemodal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren dengan kepentingan ekonomi-politik neoliberal melalui tawaran akan pembebasan dan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam jejaring pasar kapitalisme global.
Keenam, selain sebagai situs demokratisasi kultural dan penyemai oksidentalisme maupun konsumerisme, teks dan praktik budaya pop juga bisa menjadi situs hegemonik dan kontra-hegemonik.
Dalam pemahaman hegemoni (Gramsci, 1981; Boggs; 1984; Williams, 2006; Fontana, 2008), teks dan praktik budaya pop menyebarluaskan wacana dan pengetahuan yang dimobilisasi sebagai konsensus di antara masyarakat, sesuai kepentingan rezim, baik rezim negara, gender, agama, maupun pemodal.
Contoh sederhana dari proses hegemoni melalui budaya pop adalah bagaimana rezim Soeharto di era Orde Baru memanfaatkan TVRI untuk memperkuat kuasa rezim negara dengan memobilisasi kemajuan dan percepatan pembangunan di masa Orba. Sementara, dalam konteks kontra-hegemoni, para musisi, seperti Slank, menggunakan musik pop untuk menggugat dan melawan kebobrokan rezim negara yang korup.
Para sineas, seperti Deddy Mizwar, menarasikan gugatan terhadap rezim negara dan nasionalisme Indonesia di masa kini melalui film-film komedinya, seperti Nagabonar Jadi Dua.
Dalam konteks Amerika Serikat, kita bisa melihat bagaimana para pemikir posfeminis menggunakan teks budaya pop, seperti film, musik, maupun majalah, sebagai situs untuk membaca, memunculkan, dan menyemaikan kekuatan kultural perempuan untuk tidak terjebak dalam oposisi biner dalam perjuangan melawan patriarki.
Para perempuan bisa saja menikmati film-film yang menggambarkan kebebasan orientasi seksual, seperti Sex and the City, maupun mengembangkan narasi kefemininan yang dimaknai-kembali bukan untuk konsumsi laki-laki, tetapi untuk kekuatan mereka sendiri (Brooks, 2004).
BUDAYA POP DAN TRANSFORMASI MASYARAKAT