Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi (Bangsa) Ngepop: Budaya Pop dan Transformasi Masyarakat

4 April 2022   06:00 Diperbarui: 5 April 2022   09:00 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MALIQ & D'Essentials tampil dalam konser malam pergantian tahun 2013 ke 2014 yang digelar Hotel Harris & Convention Festival, Citylink, Bandung, Jawa Barat, Selasa (31/12/2013) malam. (KOMPAS.com/IRFAN MAULLANA)

Kalaupun menonton pertunjukan wayang, sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk menikmati tampilan dangdut koplo dan campursari dan memilih meninggalkan arena pertunjukan ketika dalang mulai melakonkan wayang. 

SIMPULAN: TERUS BERSIASAT

Ketika budaya pop sudah menjadi “bagian sah” dari budaya nasional Indonesia, kita sebaiknya tidak perlu takut lagi atau terlalu khawatir. Mengapa? 

Ketakutan dan kekhawatiran hanya akan menjebak kita dalam cerita ketidakberdayaan. Lebih dari itu, kita akan menjadi para pembohong dengan mencaci budaya pop, sementara dalam kehidupan sehari-hari kita menikmatinya. 

Terus bersiasat dengan cara mengapropriasi teks budaya pop yang bisa kita ambil untuk kemajuan diri, masyarakat, dan bangsa, serta mengkritisi nilai dan praktik populer yang bisa semakin memasukkan kita dalam kuasa hegemonik kapitalisme pasar merupakan pilihan yang masuk akal. 

Selain itu, “berpikir fungsional” yang memposisikan teks, benda, dan praktik budaya pop sesuai dengan prinsip kegunaannya adalah salah satu siasat yang bisa menghindarkan kita dari jebakan ideologis budaya pop, utamanya sebagai gaya hidup, yang terus membimbing kita dalam kebebasan yang berorientasi pasar, sebuah penyebaran secara halus neoliberalisme.

Sebagai catatan penutup, para akademisi, baik mahasiswa, pelajar, dosen, maupun guru, sebisa mungkin terus mengamati dan mengkaji eksistensi budaya pop, baik dari segi teks/narasi/representasi/wacana, maupun dari aspek gaya hidup dan praktik kultural sehari-hari. 

Budaya pop menyediakan bentangan cerita, ideologi, kepentingan politis, dan usaha untuk memaknainya dalam konteks-konteks partikular masyarakat. Terus membuka dan menyuarakan kekayaan persoalan tersebut, paling tidak, akan menjadi perdebatan akademis yang menunjukkan bahwa sebagai “kawan sehari-hari”, budaya pop bukanlah sebuah realitas nir-kepentingan; ada kepentingan rezim negara, rezim pemodal, rezim gender dan agama, maupun kepentingan masyarakat konsumen. 

Asumsi-asumsi yang selalu memposisikan budaya pop sebagai sesuatu yang remeh-temeh dan tidak menegosiasikan apa-apa selain menjebak masyarakat dalam konsumerisme (sehingga tidak perlu dikaji) hanya akan benar-benar memasukkan kita dalam permainan dan lingkaran kultural pop tanpa bisa bersiasat dan mengapropriasinya. Maka, jangan macam-macam dengan budaya pop!!!

DAFTAR BACAAN

Adorno, Theodor W. & Max Horkheimer. 1993. “The culture industry: enlightment as mass deception”. Dalam Simon During (ed). The Cultural Studies Reader. New York: Routledge. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun