Dengan konsepsi tersebut, budaya pop bukan sekadar benda-benda atau program-program yang dihasilkan oleh industri, tetapi lebih luas lagi, yakni keragaman wacana dan praktik yang berlangsung di dalamnya atau di dalam proses konsumsinya.
Fiske (1995: 325-326) menjelaskan bahwa budaya pop benar-benar ada, meskipun tidak pernah otentik karena selalu diciptakan dari sumber budaya yang bertentangan dengannya, budaya tinggi. Budaya pop secara tipikal terikat pada produk dan teknologi budaya massa, tetapi kreativitasnya berada dalam cara-cara menggunakan produk dan teknologi tersebut, bukan dalam proses produksinya.
Industri budaya massa bukanlah budaya populer, meskipun ia menyediakan sumber kultural bagi lahirnya budaya populer. Budaya pop secara khusus melibatkan seni membuat dari apa yang tersedia/ada.
Maka, yang dibutuhkan kemudian, bukan hanya mencaci-maki segala hal yang ‘berbau’ nge-pop, tetapi kemampuan dan kemauan untuk memaknai-ulang budaya pop dengan segala kompleksitas narasi, representasi, wacana, dan praktik yang dihasilkannya dan ikut memengaruhi formasi kultural masyarakat kontemporer.
Dengan cara pandang “proses dinamis”, budaya pop, paling tidak, bisa dikonfigurasikan ke dalam beberapa pemaknaan yang keluar dari generalisasi.
Pertama, kehadiran budaya pop yang seiring perkembangan masyarakat industrial, memberikan peluang bagi munculnya “demokratisasi kultural”. Sebelum lahirnya revolusi industri yang ikut membidani kehadiran produk-produk kultural-industrial yang pada akhirnya melahirkan budaya pop, persoalan akses terhadap kesenian menjadi pembeda yang cukup kuat di antara kelas sosial dalam masyarakat.
Kelas elit-lah yang bisa menikmati sajian yang bernama “kesenian”, seperti opera, drama/teater, maupun orkestra. Selain, pergelaran-pergelaran tersebut, bukan dianggap seni.
Ketika industri mulai memproduksi musik dan film secara massif, misalnya, kelas-kelas menengah ke bawah mulai bisa menikmati pula kesenian dalam bentuk lain yang ‘dikorupsi’ dari seni adiluhung. Artinya, selera seni dan kultural bukan lagi menjadi kuasa kelas elit, tetapi masyarakat kebanyakan.
Dalam kondisi demikian, mereka yang sudah terbiasa menikmati posisi mapan berbasis ekonomi, politik, dan kultural tetap berusaha tetap menciptakan wacana yang “membedakan” dan “menjarakkan” kelompok mereka dengan rakyat kebanyakan dengan mengatakan bahwa budaya pop sebagai “budaya rendahan”.
Usaha yang dilakukan kelas elit untuk melakukan pembedaan dan penjarakan sosial dengan kelas-kelas di bawahnya melalui pembedaan selera seni/kultural, oleh Bordieu (dikutip dalam Storey, 1993: 192) disebut "intoleransi estetik".
Bordieu menjelaskan bahwa intoleransi estetik bisa jadi kekerasan yang menakutkan. Bagi kelas elit, apa yang sulit ditoleransi adalah penyatuan cita rasa estetik dengan orang awam karena sejak awal cita rasa didikte untuk terpisah.