Masyarakat lokal mengambil dan membentuk kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri. Namun, proses penyesuaian dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya (selama proses percampuran elemen budaya lokal dan impor) sesuatu yang baru dan unik.
Perbenturan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru. Di dalam lokalisme baru, saling-silang kultural bertemu dalam kesadaran subjek masyarakat yang tidak ingin larut sepenuhnya, tetapi juga tidak ingin menolak sepenuhnya pengaruh diskursif budaya pop.
Mereka masih bisa bersiasat untuk terus menegosiasikan sebagian budaya lokal yang diyakini sebagai elemen pembentuk identitas kolektif, sekaligus menikmati budaya pop yang sudah diapropriasi sehingga tidak sampai menggusur atau menghilangkan keyakinan mereka terhadap kekuatan lokal.
Dengan kesadaran transformasi, budaya pop yang bergerak cepat melalui globalisasi adalah realitas kultural yang tidak perlu lagi ditakuti ataupun dilawan, tetapi harus dimaknai-ulang, dirombak, direkonstruksi, diramu-ulang, dan di-lokal-kan demi kepentingan penguatan lokalitas atau kepentingan nasional.
Idealitas semacam ini memang bisa berlangsung dalam kondisi masyarakat yang memiliki kesadaran kolektif untuk terus memobilisasi karakteristik kultural sebagai kekuatan di tengah-tengah kuasa hegemonik budaya pop.
Skenario kedua adalah semakin kuatnya hegemoni budaya pop, sedangkan budaya lokal hanya menjadi pelengkap yang menunjukkan keberbedaan sebuah komunitas atau masyarakat.
Tranformasi yang demikian terjadi karena terjadi “kegagalan institusionalisasi dan internalisasi kearifan lokal” ke dalam subjektivitas generasi muda yang sudah terbiasa berorientasi kepada dan menikmati budaya pop.
Program-program yang dibuat oleh rezim negara terkait pelestarian budaya lokal maupun pendidikan karakter seringkali tidak bisa menyentuh wilayah kognitif generasi muda karena lebih banyak menggunakan wacana-wacana yang melangit.
Kecenderungan tersebut memang lebih banyak berlangsung di wilayah-wilayah metropolitan di mana masyarakatnya semakin larut dalam “budaya kecepatan” (Tomlison, 2007), dari makanan cepat-saji, berita panas yang semakin cepat berubah, cepatnya transaksi bisnis on line, seks singkat, delivery order, cara cepat menguruskan dan membentuk badan ideal, hingga cara cepat mengerjakan tugas kuliah dengan mengakses wikipedia.
Budaya pop, dengan demikian, bukan lagi mengepung, tetapi sudah mendarah-daging dalam subjektivitas masyarakat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan kondisi tersebut juga berlangsung dalam kehidupan masyarakat desa/dusun.
Contoh sederhana mulai berkuasanya budaya pop dalam ruang kultural desa/dusun adalah semakin sedikitnya jumlah penonton wayang dari generasi muda.