Menurut Bu Natun, banyak warga yang mengambil kotoran kelelawar yang bertempat tinggal di dalam gua. Kotoran tersebut menjadi pupuk full-organic yang menyuburkan tanaman di tegal warga.
Mengamati dinding bagian depan gua dari bawah ke atas, saya melihat guratan-guratan motif pada bebatuan kapur yang terbentuk dari proses alamiah selama ribuan tahun. Guratan-guratan tersebut menjadi komposisi indah yang menyuguhkan pesona bagi mata yang melihatnya.
Untuk memasuki gua, kami harus masuk bergiliran karena sempitnya pintu gua. Menyadari realitas itu, saya bertanya dalam hati, apakah manusia purba (hominid) Australomelanesid yang menghuni gua ini pada ribuan tahun lalu juga bergantian untuk keluar dan masuk gua. Sangat mungkin demikian.
Sesampai di dalam gua, anak-anak Pak Natun menyalakan obor dan lampu listrik. Kondisi gua yang cukup gelap, menjadikan cahaya dari obor dan lampu tidak cukup menerangi.Â
Meskipun demikian, saya masih bisa melihat keindahan dinding gua. Memang tidak ada stalaktit dan stalagmit di dalam gua ini. Namun, dinding gua yang terkena sinar lampu dan obor menghadirkan orkestra cahaya yang cukup memukau.
Apa yang cukup mengherankan adalah kelelawar di dalam Marjan bisa dikatakan tidak banyak ketika kami berada dalam gua. Padahal pada hari-hari biasa, menurut Pak Natun, ribuan kelelawar bergelantungan di dinding, sehingga kotorannya menumpuk di dasar gua.Â
Bau kotoran juga tidak menyengat, tidak seperti biasanya. Entahlah apa yang menyebabkannya. Saya berpikir bahwa alam semesta pasti sedang berbaik hati kepada kami, sehingga memberikan rasa nyaman di dalam gua.