Sosialisasi potensi kepurbakalaan Watangan bisa dilakukan melalui jalur formal dan informal. Secara formal, potensi kepurbakalaan Watangan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Jember, dari tingkat dasar, tingkat lanjut, hingga perguruan tinggi. Secara informal, para pemerhati dan peneliti kepurbakalaan bisa menyebarluaskannya melalui penerbitan buku, tulisan di majalah, artikel jurnal, ataupun bermacam konten new media.Â
Semakin banyak warga, khususnya generasi muda, yang mengetahui potensi kepurbakalaan tersebut, semakin banyak pula pihak yang akan ikut merawat keberadaan benteng alam Watangan. Rasa empati publik bisa menjadi kekuatan strategis untuk terus merawat dan melestarikan ekosistem Watangan sekaligus menangkal kekuatan jahat yang hendak merusaknya.
MERAWAT WATANGAN
Untuk mempertahankan kekokohan Watangan, tentu dibutuhkan kerjasama lintas sektor. BKSDA menjadi kekuatan utama untuk menjaga kawasan cagar alam. Sementara, Perhutani menjadi penopang untuk pemanfaatan kawasan hutan produktif secara bijak. Tidak mengganti pohon jati dengan tanaman lain yang bisa merusak formasi kawasan merupakan tindakan bijak.Â
BSKDA dan Perhutani harus menggandeng warga untuk berpartisipasi dalam pelestarian ekosistem Watangan. Warga dipersilahkan mendapatkan keuntungan sejauh tidak melakukan tindakan-tindakan destruktif. Warga, misalnya, bisa memanfaatkan lahan di bawah tegakan untuk menanam tanaman empon-empon seperti kunir, lengkuas, kunir, dan yang lain. Mereka juga bisa mendapatkan aneka herbal yang terdapat di Watangan.
Para pelaku seni dan budaya bisa menyiapkan gelaran bersama warga yang didesain untuk gerakan ekologis-kultural. Artinya, mereka bisa membuat pertunjukan, ritual, seminar, dan lomba sebagai bentuk kampanye agar masyarakat dan pemerintah terus meningkatkan kepedulian untuk merawat ekosistem Watangan, bukan merusaknya.
Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), misalnya, menginisiasi sebuah ritual "Wiwitan" pada 13 Pebruari 2022, bertempat di kawasan hutan jati Dusun Sebanen, Desa Lojejer. Ritual ini merupakan kerjasama DeKaJe dengan pelaku seni dan budaya serta warga masyarakat tepi hutan.Â
Sebagai aktivitas awal, mereka melakukan "laku nuju sumber", perjalanan menuju air terjun Ma Elang untuk berdoa kepada Tuhan dan memohon izin kepada kekuatan supranatural yang menjaga Watangan. Di pimpin sesepuh dusun, beberapa pelaku seni dan pengurus DeKaJe berjalan kaki menuju air terjun Ma Elang.Â
Sesampai di sana, mereka melantunkan doa kepada Tuhan agar merestui dan meridhoi ritual Wiwitan yang akan dilakukan. Suara gemericik air terjun Ma Elang, meskipun debet airnya kecil, seperti menyanyikan kidung bumi yang begitu damai. Suasana tersebut sesuai dengan kebutuhan ritual yang harus hening.Â
Sesudahnya, ritual Wiwitan dilaksanakan di bagian pinggir hutan jati yang tidak jauh dari Sebanen, tepatnya di jalan masuk menuju air terjun. Dengan tumpeng dan sesajen lainnya, Suharto, M.A., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, memimpin ritual dengan memadukan doa berbasa Arab dan Jawa. Para pelaku ritual, baik laki-laki dan perempuan, mengamini doa yang disampaikan Suharto.