Meskipun sampai sekarang keinginan warga tidak dipenuhi pemerintah dan pabrik Semen Indonesia terus beroperasi di kawasan Kendeng, perjuangan para ibu tersebut akan terus dicatat oleh sejarah bangsa ini dan dikenang masyarakat dunia yang bersolidaritas untuk kelestarian lingkungan dan keberlanjutan peradaban manusia di muka bumi. Aksi kultural-heroik tersebut bisa menjadi inspirasi dan menggerakkan ragam karya kultural untuk melawan kerakusan penguasa.
Selain bentuk-bentuk di atas, para seniman yang biasa berkarya melalui tari, musik, dan pertunjukan rakyat ataupun para penggiat seni pelajar dan mahasiswa juga bisa menciptakan karya seni ekologis di daerah masing-masing. Bisa juga berupa event kultural kolaboratif yang menggabungkan ritual, pertunjukan seni, pasar rakyat, dan yang lain.
Di Desa Sekarlaras dan Desa Sekarputih, Ngawi, Jawa Timur, warga masyarakat bersama LSM Keraton Ngiyom menjalankan Upacara Kebo Ketan. Menurut Prijosusilo (2017), Kebo Ketan merupakan event multbentuk yang menggabungkan ritual dengan ragam pertunjukan seni, kuliner, dan yang lain. Berawal dari cerita tentang Kodok Ibnu Sukodok kawin dengan Peri Setyowati. Perlu diketahui Peri Setyowati adalah penjaga hutan dan mata-air di hutan Begal, yakni Sendang Marga dan Sendang Ngiyom.Â
Di balik perkawinan ini bukanlah hubungan seksual, tetapi sebuah kepentingan agar kodok membantu Setyowati menanami-kembali kawasan hutan yang pohon-pohon besarnya habis akibat penjarahan di era Reformasi. Bisa dikatakan mitos yang dikembangkan bertujuan penyelamatan budaya dan ekologi di Jawa khususnya di hutan Begal, Ngawi. Kolaborasi ritual dan pertunjukan seni diharapkan bisa memperkuat kohesi sosial.Â
Ritual di laksanakan di sendang di tengah hutan sebagai perwujudan kemenyatuan manusia, budaya, dan alam serta kekuatan adikodrati. Selain itu, juga dilakuan performance dalam bentuk tari kontemporer dan gerak teater di bawah pohon besar. Tidak lupa, kerbau buatan yang cukup besar juga diarak bersama kesenian rakyat. Kerbau dalam tradisi masyarakat agraris merupakan binatang ternak yang sangat membantu kerja-kerja pertanian.Â
Unutk memeriahkan acara, dalam even ini, bermacam kesenian seperti wayang kulit, musik religi, musik kontemporer, dan kesenian rakyat digelar di tengah-tengah masyarakat demi mempermudah berkumpulnya mereka sehingga mereka bisa bergembira sembari mengembangkan semangat untuk melestarikan hutan.Â
Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) bersama para penggiat seni rakyat di Jember, misalnya, pada tahun 2017 dan 2018 menggelar event Bhakti Bhumi Gunung Mayang di kawasan Mumbulsari. Para seniman rakyat berkolaborasi dengan para pelajar menciptakan even pertunjukan publik yang menceritakan tentang krisis ekologis dan bagaimana semestinya manusia menyikapinya secara bijak.Â
Pada gelaran Bhakti Bhumi Gunung Mayang tahun 2018, misalnya, diceritakan kaum remaja dan warga desa yang berusaha keras menjaga kelestarian hutan. Namun, terdapat pihak-pihak yang ingin mengeksploitasinya secara rakus. Kaum remaja dan warga desa bekerjasama untuk mengusir para perusak.
Dengan latar kawasan Gunung Mayang yang banyak beralih fungsi untuk pertanian dan kurang adanya penanaman pohon kembali, para penggiat seni mengajak masyarakat dan instansi terkait di Jember untuk terus memperbaiki kepedulian terhadap semakin berkurangnya kawasan hutan. Untuk menciptakan suasana sakral, panitia juga menghadirkan ritual gunungan berupa buah dan sayur-mayur sebagai wujud syukur dan komitmen untuk terus menjaga bumi.
Pada tahun 2021, DeKaJe kembali menggelar pertunjukan publik terbatas di kawasan rumpun bambu yang tidak jauh dari kota. Para penari sanggar bekerjasama dengan musisi glundengan (semacam gamelan terbuat dari kayu nangka atau sejenis) dan seniman mamaca (macapat dalam bahasa Madura) menggelar Rokat Bambu.Â