Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Ekologis: Krisis Lingkungan dalam Tatapan Kreatif Seniman

19 Februari 2022   11:33 Diperbarui: 27 Februari 2022   12:56 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni ekologis berbahan botol plastik. Dok. ecofriend.org

Yang terpenting, menurut Inwood (2008), adalah bahwa pendidikan seni ekologis harus mengintegrasikan aspek edukasi dengan pendidikan lingkungan sebagai sarana untuk mengembangkan dan memperkuat kesadaran dan hubungan dengan konsep dan isu lingkungan. 

Di sinilah dituntut adanya inovasi-inovasi pembelajaran yang tidak hanya berada di ruang kelas. Lebih dari itu, para seniman dalam komunitas melalui penciptaan karya yang mereka lakukan bisa terlibat langsung dengan pendidikan ekologis. Komunitas seni, misalnya, bisa membuat karya-karya inovatif yang menarik perhatian warga, khususnya generasi muda, sembari mengangkat isu-isu lingkungan dalam karya mereka.

Untuk memperkuat peran para seniman dan karya-karya mereka dalam aktivitas ekologis, di beberapa negara maju Eropa seperti Inggris, integrasi dengan program dan kebijakan pemerintah juga dilakukan, selain meminta pendapat publik melalui survei atau kuisioner (Hartley, 2009). Bahkan, selama dua tahun terakhir, kesadaran untuk melibatkan kesenian dalam mengkampanyekan kesadaran ekologis juga sudah dilakukan di banyak negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa, dan Amerika Serikat (Moore & Tickle, 2014). 

Semua ini menunjukkan bahwa keterlibatan seniman dalam dimensi yang lebih luas, khususnya krisis ekologis, bukanlah sesuatu yang aneh. Kesadaran global ini merupakan sebuah spirit untuk terus mengintegrasikan kehidupan dan kebudayaan dengan kesadaran akan kekuatan alam. 

BERMACAM BENTUK SENI EKOLOGIS DI INDONESIA

Meskipun kita tidak mendapatkan nama resmi seni ekologis dari budaya masyarakat Indonesia, bukan berarti kita tidak bisa menemukan jejak historis aktivitas seni atau kultural yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, merespons lingkungan. Lukisan-lukisan purba yang ditemukan di kawasan Indonesia menunjukkan keterikatan imajinatif manusia dulu dengan kondisi alam lingkungan dan semesta tempat mereka hidup.

Selain itu, banyak masyarakat di nusantara yang memiliki ritual yang menunjukkan relasi harmonis dengan alam lingkungan dan semesta. Dalam banyak mantra, sesajen, dan praktik ritual, kemenyatuan mikrokosmos dan makrokosmos diutamakan.

Kesenian mereka juga bersumber dari kekayaan alam yang sudah dipersiapkan mekanisme pelestariannya. Angklung, di Banyuwangi Jawa Timur, Bali, dan Jawa Barat, misalnya, terbuat dari bambu yang untuk menebangnya masyarakat memiliki pengetahuan tentang hari-hari tertentu yang diperbolehkan dan dilarang.

Cerita-cerita tentang pohon besar yang berpenunggu makhluk ghaib menyebar rata di wilayah Indonesia. Kalau kita perhatikan cerita tersebut memiliki tujuan konservatif. Mengapa demikian? Pohon besar, seperti beringin, memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan air sebagai sumber. Ketersediaan air tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Itulah mengapa dibuat cerita yang menjadikan warga tidak berani menebang pohon besar. 

Weden-wedenan sawah di Ponorogo. Dok. Nanang Diyanto via Kompasiana.com
Weden-wedenan sawah di Ponorogo. Dok. Nanang Diyanto via Kompasiana.com
"Weden-wedenan", "den-denan" atau "orang-orangan" di sawah menjadi bentuk karya kreatif yang bernilai guna bagi petani. Begitupula "kiling", baling-baling berukuran besar terbuat dari kayu yang ditempatkan di sawah di kawasan Aliyan Banyuwangi, selain menjadi karya artistik, juga bisa bermanfaat untuk mengacaukan hama yang akan mengganggu sawah.

Dengan demikian, secara kultural masyarakat Indonesia sejatinya memiliki keyakinan, tatanan, dan praktik yang saat ini dianggap sebagai kesadaran ekologis. Mereka juga memiliki kesadaran untuk menghindari krisis lingkungan seperti ditanggapi oleh para seniman ekologis. Masyarakat juga memiliki tradisi dan kesenian yang bernilai guna untuk kelestarian lingkungan. Dengan kata lain, model kesenian ekologis sejatinya sudah punya modal kuat di masyarakat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun