Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pengetahuan Ekologis Tradisional: Konsep Strategis, Masalah, dan Tantangan

8 Februari 2022   14:52 Diperbarui: 19 Februari 2022   13:54 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga teratai. Dok. pribadi

Pada era 1980-an, saya sering ikut bapak dan pakde ke sawah untuk menjaga kedelai, kacang tanah, atau jagung yang paginya hendak dipanen. Warga Lamongan menyebutnya "kemit". Tradisi ini dilakukan agar tanaman yang hendak dipanen tidak dicuri oleh orang lain dan tidak diganggu binatang seperti tikus. 

Biasanya, bapak dan pakde membawa tikar pandan untuk alas tidur. Tidak jarang pula mereka membakar singkong atau ketela rambat. Sambil menghangatkan tubuh di dekat perapian, mereka berdua bergantian bercerita tentang kebaikan Dewi Sri yang meskipun harus meninggal, tetapi memberikan bekal berupa tanaman pangan kepada para petani. 

Selain itu, mereka juga bertutur tentang rasi bintang yang menunjukkan musim kemarau dan penghujan. Yang tak ketinggalan adalah tanda-tanda alam ketika akan datang musim penghujan (rendeng) dan saat yang tepat untuk menanam padi serta ketika akan musim kemarau (ketigo). 

Dalam konteks masyarakat Dayak ataupun Badui Dalam, mereka memiliki keyakinan atau ritual tertentu sebelum menebang pohon besar untuk keperluan rumah tangga seperti membuat rumah.

Para ketua adat atau tetua dipercayai bisa memimpin ritual agar penebangan pohon bermanfaat dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Selain itu, di masyarakat tertentu masih ada yang meyakini adanya hari baik dan hari terlarang untuk memotong bambu, meskipun mereka sudah mengenyam pendidikan. 

Pemahaman Awal

Dalam ranah akademis internasional keyakinan dan tata cara manusia dan masyarakat pribumi/adat memperlakukan alam disebut "pengetahuan ekologis tradisional" (traditional ecological knowledge, selanjutnya disingkat PET). PET diposisikan sebagai alternatif untuk membincang persoalan-persoalan ekologis yang dikaitkan dengan ragam kearifan yang sudah dimiliki masyarakat lokal yang dalam banyak hal bertentangan dengan nalar modern. 

Perspektif ini awalnya menjadi bagian dari ethnoecology (memfokuskan kepada relasi ekologis yang berkembang di masyarakat atau budaya) dan enthnoscience (ilmu tentang orang-orang biasa). 

Dalam perkembangannya, PET menjadi ranah kajian tersendiri yang lebih kompleks dan mengedepankan cara pandang lintas-disiplin. Meskipun demikian, terdapat pihak yang memperdebatkan penggunaan istilah "tradisional" karena dianggap mengingkari fakta perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. 

Berkes (1993: 3) menjelaskan bahwa mereka yang tidak sependapat beranggapan bahwa masyarakat sudah berubah, dengan mengadopsi dan mempraktikkan teknologi baru, sehingga sangat meragukan kalau masih ada yang bisa dilabeli dengan istilah "tradisional". 

Beberapa pemikir lebih memilih menggunakan "pengetahuan ekologis pribumi" sebagai upaya untuk menghindari debat dan untuk menekankan pada manusia-manusia pribumi. Masalahnya, membuang istilah tradisional juga bisa berimplikasi kepada masuknya ranah ini ke dalam pengetahuan ekologis yang menjadi bagian dari biologi sebagai bentuk ilmu pengetahuan modern. 

Sementara, terdapat standar yang berbeda di antara pengetahuan tradisional dan modern. Apalagi tidak banyak masyarakat lokal yang menamai pengetahuan mereka tentang makhluk hidup dan lingkungan dengan nama pengetahuan ekologis. Itulah mengapa istilah tradisional tetapi dipertahankan untuk menunjukkan kualitas khusus.

Dari penelusurannya terhadap ragam definisi yang dikonseptualisasi oleh para pemikir sebelumnya, Berkes (1993: 3; 2008: 7) memberikan definisi operasional PET sebagai pengetahuan dan keyakinan kumulatif yang diwariskan dari generasi ke generasi yang menekankan hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) satu sama lain serta dengan lingkungan mereka. 

Lebih jauh lagi, PET merupakan atribut masyarakat dengan keberlanjutan historis dalam praktik penggunaan sumber daya alam; umumnya, mereka adalah masyarakat non-industrial atau masyarakat yang secara teknologi belum maju, banyak dari mereka adalah masyarakat pribumi/adat.

Bunga teratai. Dok. pribadi
Bunga teratai. Dok. pribadi

Apa yang menarik dari pemahaman definisi tersebut adalah "hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) satu sama lain dan hubungan dengan lingkungan mereka". Kesadaran dan pengakuan hubungan tak terpisahkan antarmakhluk hidup dengan lingkungan, mengindikasikan bahwa PET menekankan kemanunggalan antarelemen yang hidup bersama-sama di muka bumi. 

Pemahaman komprehensif dan holistik memang sulit terwujud dalam kehidupan masyarakat industri maju yang selalu menempatkan alam sebagai sesuatu yang harus dikuasai, meskipun ada sebagian kecil dari mereka yang tidak bersepakat dengan kerakusan industrial. 

Namun, apa yang agak bermasalah adalah istilah masyarakat adat atau tribal, karena mengindikasikan sesuatu yang tetap dari masa lalu hingga masa kini. 

Mungkin masih ada sebagian kecil masyarakat atau suku yang hidup dalam keadatan, namun sebagian besar masyarakat dunia saat ini sudah sulit untuk dikatakan sepenuhnya adat atau tribal. Lebih tepatnya kita memosisikan PET sebagai sekumpulan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun dan sampai sekarang masih diyakini dan dipraktikkan oleh generasi penerus di tengah-tengah kehidupan yang sudah banyak berubah.

Pemahaman di atas juga mengindikasikan adanya perbedaan signifikan antara PET dengan "pengetahuan ekologis saintifik" (scientific ecological knowledge, selanjutnya disingkat PES) yang dikembangkan para pakar dengan logika ilmu pengetahuan modern. Berkes (1993: 4; 2008: 11-12) mengidentifikasi beberapa karakteristik PET yang membedakannya dengan PES sebagai berikut. 

PET bersifat kualitatif, memiliki komponen intuitif, bersifat holistik, kemenyatuan antara apa yang ada di dalam pikiran dan di dalam material, berkenaan dengan nilai dan moral, spiritual, berbasis observasi empiris dan akumulasi fakta, berbasis data yang berasal dari penggunaan langsung, dan data diakronis (dari masa lalu ke masa kini dan konteksnya). 

PES bersifat kuantitatif, murni rasional, cenderung reduksionis, pemisahan antara apa yang di dalam pikiran dan yang di dalam materi, bebas-nilai, mekanistik, berbasis eksperimen dan akumulasi sistematis fakta, dan data sinkronis (seperti rangkaian waktu singkat terkait data dari area yang luas).

Karakteristik-karakteristik di atas menunjukkan oposisi biner yang masih dimainkan untuk membedakan mana yang tradisional dan mana yang saintifik. Meskipun demikian, terdapat pengecualian untuk kasus tertentu. Ada beberapa PET yang juga bisa difomulasikan dalam bentuk kuantitatif. 

Namun, secara umum memang bersifat kualitatif. Apa yang perlu ditekankan adalah bahwa karakteristik tersebut menempatkan PET pada dimensi welas-asih dalam ruang ideal di mana pengetahuan komunitas tertentu tentang alam sekaligus menjadi visi komunal untuk tidak menghancurkan lingkungan dan segala isinya. 

PET bukan semata-mata sistem pengetahuan dan tindakan, tetapi sistem pengetahuan, tindakan, dan keyakinan terintegrasi yang ditujukan tidak untuk mengeksploitasi dan mengendalikan alam lingkungan mereka sebebas-bebasnya (Berkes, 1993: 5). 

Integrasi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial PET yang menimbang beberapa dimensi penting seperti:

(1) makna simbolik melalui sejarah lisan, nama tempat, dan hubungan spiritiual; (2) kosmologi atau pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu modern di mana ekologi menjadi bagiannya; dan, (3) hubungan berbasis prinsip timbal-balik dan obligasi baik buat anggota komunitas maupun makhluk hidup lainnya serta lembaga manajemen sumber daya alam komunal berbasis pengetahuan dan makna bersama (Berkes, 1993: 5). 

Itulah mengapa PET tidak hanya berkaitan dengan kumpulan pengetahuan tetapi juga bisa dioperasionalkan untuk kepentingan-kepentingan ekologis seperti manajemen sumber daya alam, konservasi, dan yang lain (Menzies & Butler, 2006: 2).

Enam Wajah PET: Aspek Strategis & Tantangan

Meskipun banyak pakar yang mengkontraskan PET dan PES, bukan tidak mungkin untuk menemukan penjelasan dalam PET yang sesuai dengan kerangka akademis PES. Itu sekaligus menunjukkan bahwa yang tradisional bukan tidak mungkin memenuhi standar pengetahuan modern. Namun, hal ini tidak untuk menunjukkan bahwa PET dan PES pada dasarnya sama. Houde (2007) mengidentifikasi enam wajah dari PET untuk mempermudah pemahaman di tengah-tengah kompleksitas yang melingkupinya.

Pertama, observasi faktual, klasifikasi, dan dinamika sistem. Maksudnya, PET harus bisa diobservasi oleh peneliti dari luar komunitas untuk bisa melakukan penamaan komponen-komponen yang ada di lingkungan kawasan, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, gunung, perbukitan, lahan pertanian dan yang lain. 

Tujuannya adalah untuk memahami keterkaitan erat antarsepesis, hubungan di dalam lingkungan biosifik, distribusi ruang, trend historis ruang dan pola populasi. Pemahaman ini bermanfaat untuk memantau indikator kesehatan eksosistem dan pengukuran perubahan ekologis, termasuk iklim.

Pengetahuan bersifat empiris tersebut memang membutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan observasi, telaah, dan penyimpulan. Ini memang wajar karena ada usaha untuk mensaintifikasi PET dengan prinsip pengetahaun modern. Namun, untuk memahami dinamika ekosistem, termasuk perubahan dan permasalahan yang berlangsung dari waktu ke waktu, mekanisme modern tersebut cukup membantu. 

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Namun demikian, menurut saya, karena PET memiliki keterkaitan erat dengan aspek lokalitas, aspek kultural juga perlu mendapatkan penekanan. 

Misalnya, bagaimana dongeng Rara Anteng dan Jaka Seger di masyarakat Tengger dikatikan dengan usaha manusia membangun relasi harmonis dengan kekuatan supranatural dan alam semesta. Tentu saja, hal itu tidak bisa semata-meata menggunakan analisis empiris, tetapi juga membutuhkan analisis mitos yang bersifat kontekstual.

Hasil observasi faktual, lebih jauh lagi, bisa dimanfaatkan sebagai data strategis yang bisa dimanfaatkan oleh birokrat yang mengelola sumberdaya. 

Dengan memiliki data-data terkait tumbuhan, hewan, lahan pertanian, lahan perbukitan, serta bagaimana manusia di sebuah kawasan membentuk pengetahuan dan kebajikan dalam mengelola alam, birokrat tidak bisa semaunya sendiri untuk menggunakan sumberdaya alam secara rakus tanpa mengindahkan potensi dan permasalahan yang bisa berkembang. 

Termasuk memberikan informasi kepada perusahaan yang akan mengelola sebuah kawasan terkait hewan dan tumbuhan apa yang dilindungi. Di negara-negara maju, laporan tentang kondisi ekologis sebuah kawasan akan menjadi rujukan penting untuk para pemodal. 

Meskipun demikian, masih banyak pula perusahaan dari negara-negara maju yang merusak ekosistem komunitas-komunitas etnis dan ruang hidup mereka di kawasan hutan. Selain itu, komunitas pribumi bisa memanfaatkan ketersediaan hasil observasi faktual untuk bernegosiasi kepada pemerintah atau kekuatan yang lebih besar tentang peran penting komunitas dan PET mereka dalam keberlanjutan lingkungan hidup.

Kedua, terdapat sistem manajemen sumberdaya, yakni yang menggunakan pengetahuan lingkungan lokal dan juga memasukkan rangkaian tepat tindakan, alat, dan teknik. Praktik ekologis tersebut mensyaratkan pemahaman akan proses ekologis, seperti hubungan fungsional di antara spesies utama dan pemahaman terhadap pewarisan hutan. 

Selain itu, telaah sistem manajemen ini juga bermanfaat untuk bagaimana strategi untuk menjamin keberlanjutan sumber daya alam lokal seperti pengelolaan hama, konservasi sumberdaya alam, ragam pola tanam, dan metode untuk mengestimasi kondisi sumberdaya.

Bermacam pengetahuan tentang masa rotasi tanam, pengendalian kebakaran hutan, pola pengumpulan penyu di pesisir pantai, pola tanam pohon di hutan, dan yang lain, sudah banyak dikaji guna mendapatkan perspektif, metode, dan mekanisme untuk mengelola lingkungan alam secara berkelanjutan. 

Hal ini menegaskan bahwa ketika penggunaan PES menjadi pilihan utama untuk mengendalikan permasalahan kerusakan hutan dan masalah lingkungan lainnya, PET masih dianggap penting karena yang saintifik belum tentu bisa secara menyeluruh menyelesaikan masalah krisis lingkungan, terutama yang berlangsung di kawasan lokal. Masyarakat adatlah yang mengetahui bagaimana memperlakukan lingkungan alam mereka. 

Meskipun demikian, kita juga melihat realitas bahwa saat ini pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan kawasan semakin berkurang karena semakin massifnya penerapan pertanian komersial, pertambangan yang merusak, perkebunan yang menghilangkan keragaman hayati, dan masalah-masalah lain.

Namun demikian, bukan berarti bahwa tata kelola sumberdaya secara tradisional bukan tidak mungkin dilakukan. Beberapa kawasan di Kanada menerapkan kebijakan "sistem tata kelola berbasis lokal" melibatkan warga Indian dalam mengelola hutan model di mana mereka mendapatkan kendali yang lebih luas, termasuk merasakan capaian dari wilayah hutan. 

Realitas ini sebenarnya juga bisa dilakukan di Indonesia, asalkan pemerintah dan penguasaha swasta tidak rakus ingin mengeruk sumberdaya alam dengan mengabaikan PET dan tidak mengindahkan keterlibatan komunitas adat. Ironisnya, banyak kasus pertambangan dan perkebunan berskala massif di Indonesia memosisikan komunitas adat yang masih memegang teguh dan menjalankan PET sebagai pihak-pihak yang menghambat. 

Hal ini jelas membuktikan bahwa slogan budaya bangsa sebagai kekuatan bersama harus dikritisi. Bagaimanapun juga PET merupakan karakteristik lokal dalam memosisikan ekosistem dan semua komponennya. Kalau mereka yang membela ekosistem dan menjalankan PET diposisikan sebagai pihak pengambat untuk mendapatkan keuntungan berlimpah, maka sama saja budaya bangsa diabaikan demi komersialisasi ekologis.

Sebagai tambahan Berkes (2008: 17) berargumen bahwa sistem tradisional manajemen mensyaratkan institusi sosial yang tepat, rangkaian aturan-dalam-pegunungan, norma dan kode relasi sosial. Untuk kelompok pemburu, nelayan, atau petani yang saling tergantung, agar berfungsi secara efektif, harus ada organisasi sosial untuk koordinasi, kerjasama, dan pembuatan aturan. 

Institusi sosial bisa termasuk institusi pengetahuan yang membingkai proses ingatan sosial, kreativitas, dan pembelajaran. Tentu saja, terkait bentuk institusi sosial akan bergantung sepenuhnya pada kesepakatan dalam masyarakat atau antarkomunitas karena merekalah yang paham sepenuhnya apa-apa yang mereka butuhkan dari kehadiran lembaga.

Ketiga, pengetahuan faktual yang berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan di masa lalu dan masa kini. Pengetahuan ini menekankan aspek historisitas dari PET yang tidak hanya berhenti pada masa lalu ideal dan romantik, tetapi juga dinamika perkembangan dalam pengunaan, pengabaian, transmisi, dan tranformasi di masa kini. 

Cerita lisan ataupun prasasti bagaimana tanah, binatang, dan tumbuhan dimanfaatkan pada masa lalu menjadi pengetahuan penting untuk melihat relasi manusia dan alam sekitarnya.

Selain itu, situs-situs purbakala, jenis pekerjaan, model pemukiman, tempat tumbuh-tumbuhan obat, dan tempat-tempat bersejarah di sebuah wilayah juga penting untuk ditelaah karena bisa memberitakan data terkait ragam PET masa lalu yang bersifat dinamis dan kontekstual. 

Tentu saja mendapatkan informasi lisan dari tokoh adat ataupun prasasti terkait PET dan bagaimana ia ditransmisikan ke masa kini kepada generasi muda menjadi peting untuk dilakukan.

Dengan tersedianya informasi yang cukup tentang pemanfaatan lahan dari masa lalu dan perubahannya di masa kini akibat bermacam proses eksploitasi alam yang disponsori negara dan swasta, misalnya, komunitas adat bisa mengajukan tawaran atau gugatan bermartabat terkait pengetahuan mereka yang perlu dikembangkan lebih lanjut di masa kini. 

Adapun tujuannya adalah agar komunitas pribumi atau adat bisa mendapatkan legitimasi hukum dalam mengelola kawasan atau lahan mereka demi kepentingan komunitas. Untuk itulah dibutuhkan kehati-hatian dan kejelian dalam menelaah informasi terkait pemanfaatan lahan agar tidak tergelincir ke dalam misinformasi yang bisa berakibat serangan balik terhadap komunitas adat.

Keempat, etika dan nilai. Pengetahuan ini berkaitan erat dengan bagaimana pemahaman masyarakat atau pandangan dunia warga komunitas terkait lingkungan dan segenap isinya yang diimplementasikan dalam tindakan. Apa-apa yang diungkap adalah bagaimana ekspresi nilai dalam kehidupan kultural yang berkaitan dengan sikap yang baik dan benar (seringkali disebut "nilai penghormatan") untuk mengadopsi hewan, lingkungan secara umum dan antarmanusia.

Penelitian dalam kerangka saintifik masih sangat sedikit yang mencatat dan mengelaborasi konsep etika dan nilai ini. Padahal, bagaimana pandangan dunia sebuah komunitas dan implementasinya secara etis bisa memperkaya pemahaman terhadap PET, utamanya terkait kekuatan dan keberlanjutan di tengah-tengah modernitas masyarakat lokal. 

Artinya, ketika warga komunitas masih bisa mewariskan aspek etika dan nilai yang perlu dikembangkan ketika berhadapan dengan alam, maka PET kemungkinan besar masih bisa dilanjutkan. Namun, ketika aspek etika dan nilai sudah ditinggalkan, maka PET pun perlahan tapi pasti akan ditinggalkan.

Contoh sederhana adalah pranata mangsa, pengetahuan musim ala Jawa. Ketika manusia-manusia Jawa masih menempatkannya sebagai aspirasi dan nilai ideal dalam berkehidupan, pranata mangsa masih dipercaya memiliki kekuatan dan memengaruhi budaya tanam dan pengelolaan tanah. 

Namun, kehadiran revolusi hijau menjadikan banyak petani di Jawa mulai mengabaikan dan tidak mau lagi menerapkan pranata mangsa karena dianggap tidak relevan lagi ketika mereka sudah biasa dengan irigasi modern serta bermacam pupuk dan pestisida. 

Demikian pula ketika semakin banyak warga adat di wilayah pedalaman setiap negara terbiasa dengan perkebunan, keyakinan dan praktik PET pun akan berangsur hilang dan hanya menjadi dongeng serta lambat-laun hilang dari percakapan sehari-hari warga.

Contoh lain yang menarik adalah cerita tentang pohon besar berpenghuni makhluk ghaib. Kalau dibaca secara denotatif, tentu cerita yang berkembang luas di masyarakat Indonesia ini bisa dikatakan sebagai mitos yang cenderung menakuti. 

Namun, kalau kita bisa baca secara kritis kita bisa menemukan kedalam nilai ekologis untuk melindungi pohon besar sebagai elemen yang mampu menyimpan air. Masyarakatpun memilih untuk mengkeramatkan sehingga pohon besar selamat dan terus bekontribusi. 

Sayangnya, pendidikan modern menegasikan tafsir ekologis atas cerita tersebut. Belum lagi adanya stigmatisasi cerita tersebut sebagai perbuatan syirik. 

Tidak mengherankan, di banyak tempat, banyak pohon besar ditebang, meskipun di Bali masih dikeramatkan. Dampak luasnya stigmatisasi tersebut adalah tidak adanya rasa takut untuk membabat hutan dengan banyak pohon besar yang kemudian menimbulkan masalah serius berupa banjir, longsor, dan kekeringan. 

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kelima, PET sebagai penentu identitas budaya. Konsep ini berkaitan erat dengan bagaimana komunitas menempatkan PET sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya yang mengikat kehidupan mereka bersama. Pemahaman tentang tanah sebagai penentu kehidupan dan kebudayaan, misalnya, menyebarluas di mayoritas bangsa-bangsa di dunia. 

Ketika kawasan yang ditempati sebuah komunitas hilang akibat proses eksploitasi ataupun bencana, misalnya, maka budaya masyarakat pun akan punah.

Dalam kasus lumpus Lapindo, misalnya, warga desa terdampak harus pindah dari tanah tempat hidup mereka. Kalaupun mereka sudah pindah ke kawasan perumahan, budaya sehari-hari mereka jelas ikut berubah.

Pengetahuan ini memahami cerita, nilai, dan hubungan sosial yang ada di wilayah tertentu sebagai kontribusi untuk kelangsungan hidup, reproduksi, dan evolusi budaya serta identitas asli. Ini menekankan manfaat restoratif dari lanskap budaya sebagai tempat untuk pembaruan spiritual. Itulah mengapa orang Jawa memiliki keyakinan sadumuk bathuk sanyari bhumi. 

Maksudnya, tanah itu menentukan kehidupan manusia, sehingga meskipun hanya selebar dahi manusia, tanah harus dipertahankan. Tidak hanya dalam hal ukuran, tetapi juga dalam hal peran penting tanah untuk melanjutkan kehidupan manusia dan semua budayanya. Pemahaman ini juga menegaskan bahwa PET, sesederhana apapun, tidak bisa dilepaskan dari identitas sebuah masyarakat.

Meskipun demikian, beragam pengaruh modernitas dan program pembangunan ikut mengubah cara pandang manusia terhadap kemenyatuan tersebut.

Dulu warga Tengger, misalnya, tidak mau menjual tanah kepada warga luar. Mengapa? Karena tanah berlahan datar yang bisa dijadikan kawasan pemukiman dan pertanian jumlahnya terbatas, sehingga sangat menentukan kehidupan dan tradisi mereka. 

Ketika tanah itu diberikan ke orang luar, maka akses ekonomi dan jalannya kehidupan akan mendapatkan pengaruh dari budaya lain. Namun, di tengah gencarnya industri perhotelan sebagai konsekuensi logis pariwisata Bromo, mulai banyak lahan yang dikuasai oleh pemodal swasta. 

Selain itu, warga Tengger juga harus rela tanah yang mereka tempati dan manfaatkan sedari manusia pertama hidup di kawasan ini harus berada dalam kekuasaan negara.

Perubahan tersebut tentu mengikis makna dan keyakinan terhadap kepemilikan tanah yang pada gilirannya bisa memutuskan koneksi kultural dalam hal lingkungan dari satu generasi ke generasi lain. Akibatnya, keutuhan budaya adat mulai retak.

Produksi dan mobilisasi PET sebagai bagian integral identitas budaya di tengah hasrat dan praktik eksploitasi massif tanah dan sumberdaya alam bisa memberikan energi besar terhadap komunitas adat atau warga lokal.

Mereka bisa menyatukan solidaritas berbasis identitas untuk bergerak bersama, menuntut pemerintah di masing-masing wilayah dan pemerintah pusat agar membuat kebijakan yang tidak merusak ruang hidup mereka atas nama apapun.

Keenam, kosmologi. PET ini berkaitan dengan pandangan dunia bagaimana setiap komponen dalam kehidupan di semesta terkoneksi satu sama lain. Manusia berhubungan erat dengan manusia lain, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, udara, api, dan kekuatan supranutal. 

Aspek kosmologis ini menentukan proses kehidupan di sebuah wilayah. Komunitas Tengger, misalnya, meyakini bahwa mereka merupakan bagian dari proses ekologis yang berlangsung antara mikrokosmos dan makrokosmos, di mana kehidupan mereka terikat dengan kawasan Bromo dan segenap isinya serta segala subjek supranatural. 

Dalam banyak komunitas Indian di Amerika Serikat dan Kanada, prinsip kemenyatuan manusia dengan elemen semesta merupakan nilai luhur yang menentukan jalannya kehidupan mereka.

Sayangnya, proses panjang kolonialisme dan eksploitasi alam telah melahirkan banyak kerusakan terhadap pengetahuan kosmologis tersebut. Akibatnya, banyak masyarakat lokal yang menempatkan komponen semesta sebagai komoditas yang bisa dimaksimalkan sebesar-besarnya untuk kepenitngan manusia.

Pembedaan antara pengetahuan Barat/modern dengan pengetahuan pribumi berkontribusi penting terhadap penegasaan posisi politis keduanya. PES diposisikan lebih dominan dibandingkan PET karena didukung piranti teoretis, metodologis, dan analitis serta persebaran secara global yang memungkinkannya lebih superior. 

Sementara, pengetahuan kosmologis diposisikan sebagai liyan yang tidak masuk akal dan tidak seharusnya berada dalam ranah pengetahuan global. Bahkan, dalam kurikulum pendidikan di negara-negara bekas jajahan, PES mendapatkan prioritas dibandingkan PET yang sangat minim atau, bahkan, tidak ada porsinya.

Simpulan

Identifikasi konsep strategis PET dan tantangannya di masa kini menyiratkan peluang/kesempatan untuk memperluas produksi wacana dan pengetahuan yang bisa berdampak strategis dan praksis. PET bisa dimanfaatkan untuk membuat model atau pola pengelolaan secara berdampingan (co-management) terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. 

Prinsip berdampingan memungkinkan PET untuk dimasukkan dalam skema dan model pengelolaan yang tidak rakus dan eksploitatif, tetapi tetap menimbang keutamaan warga komunitas dan keberlanjutan alam. Penanganan masalah ekologis dengan hanya mengandalkan PES kurang bisa menjangkau aspek-aspek kultural dalam masayarakat yang seringkali dikalahkan oleh nalar dan rasionalitas modern. 

PET memiliki narasi dan rasionalisasi berdasarkan konteks masyarakat dan budaya tempatnya berkembang, sehingga untuk memahami dan menerapkannya dibutuhkan kemampuan yang tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi juga mengelaborasi pandangan dunia dan etika.

Namun demikian, itu bergantung sepenuhnya kepada pemerintah, apakah mereka mau konsisten dengan slogan dan kampanye untuk menyelamatkan lingkungan yang dijalankan melalui banyak media dan kurikulum pendidikan atau lebih asyik 'bernyanyi' dan 'mendongeng' tentang pentingnya pelestarian dan keberlanjutan alam sembari terus merusak alam dengan pertambangan dan perkebunan dalam jumlah massif. 

Kalau pemerintah masing-masing negara di dunia ini komitmen dan konsistensi untuk bersama-sama warga mengatasi permasalahan ekologis, mereka bisa mengajak masing-masing komunitas yang memiliki PET untuk terlibat aktif dengan dukungan perundang-undangan yang pro-penyelamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Ketika para akademisi global menegaskan pentingnya PET dan keterlibatan komunitas, akan menjadi aneh kalau pemerintah malah mengesampingkan peran strategis bermacam pengetahuan yang menjaga keberlanjutan lingkungan alam.

DAFTAR BACAAN

Berkes, Fikret. 2008. Sacred Ecology. New York: Routledge.

Berkes, Fikret. 1993. "Traditional Ecological Knowledge in Perspective". Dalam J.T. Ingglis (ed). Traditional Ecological Knowledge: Concepts and Case. Ottawa: International Program on Traditional Ecological Knowledge in association with International Development Research Centre.

Houde, N. 2007. "The six faces of traditional ecological knowledge: challenges and opportunities for Canadian co-management arrangements." Ecology and Society, 12(2): 34. [online] URL: http://www.ecology andsociety.org/vol12/iss2/art34/.

Menzies, C. R. & C. Butler. 2006. "Introduction: Understading Ecological Knowledge". Dalam C. R. Menzies.(eds). Traditional Ecological Knowledge and Natural Resource Management. Lincoln (USA): University of Nebraska Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun