Keempat, etika dan nilai. Pengetahuan ini berkaitan erat dengan bagaimana pemahaman masyarakat atau pandangan dunia warga komunitas terkait lingkungan dan segenap isinya yang diimplementasikan dalam tindakan. Apa-apa yang diungkap adalah bagaimana ekspresi nilai dalam kehidupan kultural yang berkaitan dengan sikap yang baik dan benar (seringkali disebut "nilai penghormatan") untuk mengadopsi hewan, lingkungan secara umum dan antarmanusia.
Penelitian dalam kerangka saintifik masih sangat sedikit yang mencatat dan mengelaborasi konsep etika dan nilai ini. Padahal, bagaimana pandangan dunia sebuah komunitas dan implementasinya secara etis bisa memperkaya pemahaman terhadap PET, utamanya terkait kekuatan dan keberlanjutan di tengah-tengah modernitas masyarakat lokal.Â
Artinya, ketika warga komunitas masih bisa mewariskan aspek etika dan nilai yang perlu dikembangkan ketika berhadapan dengan alam, maka PET kemungkinan besar masih bisa dilanjutkan. Namun, ketika aspek etika dan nilai sudah ditinggalkan, maka PET pun perlahan tapi pasti akan ditinggalkan.
Contoh sederhana adalah pranata mangsa, pengetahuan musim ala Jawa. Ketika manusia-manusia Jawa masih menempatkannya sebagai aspirasi dan nilai ideal dalam berkehidupan, pranata mangsa masih dipercaya memiliki kekuatan dan memengaruhi budaya tanam dan pengelolaan tanah.Â
Namun, kehadiran revolusi hijau menjadikan banyak petani di Jawa mulai mengabaikan dan tidak mau lagi menerapkan pranata mangsa karena dianggap tidak relevan lagi ketika mereka sudah biasa dengan irigasi modern serta bermacam pupuk dan pestisida.Â
Demikian pula ketika semakin banyak warga adat di wilayah pedalaman setiap negara terbiasa dengan perkebunan, keyakinan dan praktik PET pun akan berangsur hilang dan hanya menjadi dongeng serta lambat-laun hilang dari percakapan sehari-hari warga.
Contoh lain yang menarik adalah cerita tentang pohon besar berpenghuni makhluk ghaib. Kalau dibaca secara denotatif, tentu cerita yang berkembang luas di masyarakat Indonesia ini bisa dikatakan sebagai mitos yang cenderung menakuti.Â
Namun, kalau kita bisa baca secara kritis kita bisa menemukan kedalam nilai ekologis untuk melindungi pohon besar sebagai elemen yang mampu menyimpan air. Masyarakatpun memilih untuk mengkeramatkan sehingga pohon besar selamat dan terus bekontribusi.Â
Sayangnya, pendidikan modern menegasikan tafsir ekologis atas cerita tersebut. Belum lagi adanya stigmatisasi cerita tersebut sebagai perbuatan syirik.Â
Tidak mengherankan, di banyak tempat, banyak pohon besar ditebang, meskipun di Bali masih dikeramatkan. Dampak luasnya stigmatisasi tersebut adalah tidak adanya rasa takut untuk membabat hutan dengan banyak pohon besar yang kemudian menimbulkan masalah serius berupa banjir, longsor, dan kekeringan.Â