Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Memaknai Ciuman di Bandara Internasional dalam Film Indonesia

24 Januari 2022   11:09 Diperbarui: 24 Januari 2022   11:53 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta dan Rangga di Bandara. Dok Miles Production via hipwee.com

Bagi yang pernah menonton Ada Apa Dengan Cinta? dan Eiffel I'm in Love, tentu akan ingat adegan ciuman Cinta dan Rangga serta Tita dan Adit di Bandara Internasional Soerkarno-Hatta. Mereka berciuman mesra di bandara sebagai tanda cinta yang harus dieskpresikan secara terbuka. 

Dalam pandangan saya, dari dua film tersebut, kita bisa melihat bagaimana dinamika industri film Indonesia pascareformasi atau era 2000-an awal menghadirkan permasalahan hidup kaum remaja di tengah-tengah pergerseran orientasi kultural masyarakat selepas runtuhnya rezim otoriter Orde Baru.

Kaum remaja dan muda Indonesia bukanlah sekedar kelompok sosial berdasarkan kategori umur. Mereka bukan hanya sekedar anak sekolahan/kuliahan yang pada pagi hingga siang 'bergulat' dengan buku dan guru/dosen, sementara sore hingga malam hari menemukan kenikmatan di mall atau plasa yang semakin memenuhi lanskap kota-kota besar Indonesia. 

Kaum muda merupakan kelompok sosial yang memiliki kompleksitas persoalan, dari yang romantis (semisal tentang masalah percintaan), peralihan/pencarian identitas, hingga yang bersifat ideologis (gaya hidup hedon dan konsumtif serta pertarungan dengan generasi tua, misalnya), yang menandai masa peralihan transisi anak-anak menuju dewasa dalam struktur dan relasi masyarakat kapitalis (Barker, 2004: 334-336). 

Itulah mengapa Siregar (2004: 4) berargumen bahwa film-film dengan tema seputar kehidupan kaum muda akan tetap tumbuh dan digemari sesuai dengan perkembangan zaman, meskipun sering dianggap kurang bermutu, atau bahkan menjual mimpi dan bisa berbahaya bagi generasi muda, budaya, dan nasionalisme Indonesia.

ADA APA DENGAN CINTA?

Ada Apa Dengan Cinta? (Rudy Sujarwo, 2001, selanjutnya disingkat AADC) harus diakui merupakan film paling populer dalam 'genre pelajar'. Popularitas film ini menandai dimulainya babak baru perfilman Indonesia yang baru bangkit dari 'mati suri' pada pertengahan sampai akhir 90-an. AADC berbeda dengan film pada era Orba yang lebih banyak mengekspos kehidupan remaja laki-laki dengan kehadiran perempuan-perempuan cantik sebagai pelengkap permainannya. 

Film ini berani keluar dari 'pakem laki-laki' dan menampilkan tokoh perempuan remaja sebagai tokoh utama, bukan sekedar sebagai tokoh pelengkap dunia laki-laki, meskipun permasalahan yang di hadapi tetap saja berkutat pada persoalan cinta. AADC juga tidak banyak mengekspos konflik dengan generasi tua, seperti film-film remaja di era 70 hingga 90-an, tetapi lebih menyuguhkan perayaan jagat perempuan dengan kedinamisan hidup dan persoalan cinta yang mereka hadapi.  

Sebagai film remaja, AADC pada awal cerita menyuguhkan kisah kehidupan masa remaja Cinta (diperankan Dian Sastro Wardoyo) bersama geng-nya. Gambaran kehidupan remaja SMA perkotaan menjadi latar yang melekat pada diri dan perilaku sehari-hari mereka. Cinta dan kawan-kawannya saling membantu dan mengisi dalam kehidupan sehari-hari sehingga kekompakan menjadi ciri utama kedirian mereka. 

Gaya bicara, berpakaian, dan pergaulan mereka dicitrakan sebagai kaum remaja kota yang tidak lepas dari ke-glamor-an kehidupan kota, tetapi mereka masih punya tanggung jawab dan komitmen terhadap persoalan akademis serta persoalan kehidupan lainnya. Cinta merupakan tokoh sentral yang lebih berperan sebagai 'ketua geng' dan mampu mengarahkan kawan-kawannya.

Namun, perkenalannya dengan Rangga (diperankan Nicholas Saputra) melalui puisi, membuatnya harus mengakui cinta yang bersemayam dalam dirinya. Meskipun, awalnya terjadi masalah dengan kawan-kawannya, Cinta pada akhirnya mendapat restu mereka untuk menjalin cinta dengan Rangga. 

Sayangnya, ayah Rangga harus berangkat ke Amerika Serikat karena mendapatkan tawaran mengajar di sana. Momen keberangkatan inilah yang menghadirkan adegan dramatis-romantis. Cinta mengejar Rangga yang sudah berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. 

Di bandara, Cinta benar-benar meminta Rangga agar tidak pergi ke Amerika Serikat. Segala kehebatan Cinta sebagai tokoh yang bisa menggerakkan kawan-kawan perempuannya untuk aktif dan dinamis di sekolah, seolah luruh karena ia benar-benar memelas kepada Rangga. Konsep ketidakberdayaan perempuan ketika dikuasai cinta hadir dalam adegan di bandara.

Apa yang menarik dicermati adalah bagaimana Rangga memeluk dan mencium Cinta dengan begitu mesra di bandara. Adegan perpisahan dan ciuman di bandara yang digambarkan dari beberapa sudut pandang pengambilan gambar, seperti close up, medium shot, long shot, menarik untuk dikritisi lebih lanjut. 

Kesedihan, keharuan, dan ketakkuasaan untuk melepas kekasihnya ke Amerika Serikat tertumpahkan pada wajah sedih Cinta ketika ia memeluk Rangga. Ketidakberdayaan untuk berpisah dari Rangga menjadikannya "perempuan yang pasrah dan akhirnya begitu menikmati ketika Rangga menciumnya" di depan publik bandara. 

Ciuman di depan umum digambarkan bukan lagi menjadi tabu yang tidak pantas dilakukan perempuan dan laki-laki. Bandara internasional merupakan sebuah "ruang kedatangan dan kepergian" di mana batas-batas negara dan budaya menjadi kabur karena lalu-lintas manusia dari berbagai bangsa. 

Bandara juga merupakan "ruang antara yang membebaskan" di mana kekakuan budaya dan moralitas dipertanyakan kembali dengan impian-impian akan kebebasan atas nama cinta, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para pendatang mancanegara dalam dunianya. 

Dengan kata lain, bandara adalah ruang di mana seorang perempuan sejenak meninggalkan tradisi dan menikmati kebebasan sebagai sesuatu yang indah atas nama cinta. Cinta sudah berani melanggar tabu tradisi dengan melakukan ciuman itu demi mendapat sentuhan romantis dari seorang Rangga yang akan segera pergi.

Pun seragam SMA yang menjadi penanda ketaatan terhadap aturan pendidikan negara tidak bisa menghalangi keinginan untuk merayakan cinta dan kebebasan. Di sekolah, Cinta bisa saja menjadi siswa yang baik, cerdas, dan kreatif, tetapi di bandara ia adalah seorang perempuan remaja yang membutuhkan kebebasan untuk berciuman. 

"Ciuman", dengan demikian, adalah sebuah penanda yang tidak hanya menunjukkan kemesraan antara perempuan dan laki-laki, tetapi menunjukkan betapa perempuan harus rela mengabdikan kehidupan dan perasaannya demi menunggu laki-laki memenuhi janjinya.

Ciuman di ruang bandara, bagi Cinta dan Rangga, merupakan ekspresi kaum muda yang mendambahkan kebebasan, tetapi masih terbatasi oleh aturan-aturan normatif budaya bangsa. Kondisi pascareformasi yang sedikit membebaskan bangsa ini dari aturan rezim otoriter yang salah satunya memperkuat kekuasaannya melalui norma-norma yang mengekang, di maknai secara lentur dalam film ini melalui adegan ciuman yang tampak menabrak tabu. 

EIFFEL I'M IN LOVE  

Sebenarnya cerita dalam Eiffel I'm in Love (Nasri Cheepy, 2003, selanjutnya disingkat EIL) hampir sama dengan AADC, di mana tokoh perempuan remaja direpresentasikan sebagai subjek yang jatuh cinta kepada laki-laki. Tokoh perempuan, Tita (diperankan Sandy Aulia) sejak awal dicintai oleh tokoh laki-laki, Adit (diperankan Samule Riza). Untuk mendapatkan cinta tersebut Adit harus menjalankan permainan dan jebakan sebagai bentuk mekanisme untuk mendapatkan cinta Tita. 

Dok. Soraya Intercine Film
Dok. Soraya Intercine Film

Tita, di balik semua potensinya untuk maju dan berkembang sebagai perempuan remaja yang cerdas dan didukung dengan segala fasilitas kekayaan orang tuanya, ternyata memang 'ditakdirkan' dalam representasi yang lebih menegaskan ketidakuasaannya untuk keluar dari cinta lelaki.

Ia merasa begitu kehilangan ketika Adit hendak kembali ke Paris, apalagi ditambah dengan ucapan bahwa ia adalah calon pendamping hidupnya. Tita, kini, hanya seorang perempuan remaja yang lagi-lagi begitu sedih melihat calon pasangan hidupnya akan segera kembali ke Paris. Dia hanya bisa pasrah serta menikmati "pelukan" dan "ciuman mesra" Adit di bandara, sebagai bentuk "kepastian cinta" dan "kesabaran untuk menunggu", sama seperti yang dialami Cinta dalam AADC. 

Di bagian depan bandara, Adit memeluk Tita penuh penghayatan. Lalu orang yang datang dan pergi menjadi latar. Tita mengenakan kaos tanpa lengan berwarna merah marun dan rok di bawah lutut berwarna putih sembari membawa tas kecil berwarna putih, sedangkan Adit memakai jaket dan celana jean berwarna hitam. 

Tita dengan wajah sedih menyandarkan kepalanya di dada Adit. Adit melepas pelukannya, lalu memegang dagu Tita yang hanya diam. Adit mencium bibir Tita. Selama beberapa saat mereka saling berciuman dengan latar lalu-lalang orang. Selesai berciuman, Adit membelai pipi dan bibir Tita. Sesudahnya, Tita tersenyum bahagia.

Semua kemarahan, kejengkelan, dan kesedihan luluh oleh rasa bahagia karena sebuah ciuman. Bagi Tita, kemarahan dan kejengkelan hanya "cerita sejarah perjumpaan awal" yang tak harus diingat dan diungkit karena kenyataannya dia sekarang "lebih bisa tersenyum" dan "merasa bahagia"; sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya dalam menjalin cinta. 

Keterjebakannya dalam permainan Adit, tidak terlalu penting untuk disadari karena, toh, ia begitu menikmati permainan itu sampai-sampai ia harus segera mengubur tangis dan kesedihan karena Adit telah memberikan satu romansa dalam kehidupan cintanya. Lalu-lalang orang di bandara dan keyakinan masyarakat terhadap tabu tidaklah harus diindahkan karena Tita adalah perempuan remaja yang sedang jatuh cinta. 

Segala tabu harus dijungkir-balikkan demi memperoleh semua keindahan yang mungkin (hanya bisa) terjadi di bandara. Pilihan close up ketika Tita tersenyum setelah berciuman menegaskan ketiadaan beban tabu tradisi dalam benaknya karena yang ia rasakan hanyalah keindahan dari sebuah ciuman.

Pilihan fashion yang dikenakan Tita (kaos tanpa lengan berwarna merah marun, rok di bawah lutut berwarna putih, sembari membawa tas kecil berwarna putih) semakin mempertegas ke-feminin-annya. Sementara, pilihan fashion yang dikenakan Adit (jaket dan celana jean berwarna hitam) semakin memperkuat maskulinitasnya. Jaket dan celana jean secara umum memang sudah disepekati sebagai pakaian lelaki, meskipun ada juga perempuan yang mengenakan. 

Adapun, rok, tas, dan kaos tanpa lengan, memang sudah lazim dikenakan perempuan. Perbedaan biner dalam hal fashion ini sekaligus menandakan betapa ke-lelaki-an, pada dasarnya, bisa memberikan kehangatan dan kemesraan bagi perempuan yang secara takdir membutuhkan perlindungan dan sentuhan-sentuhan romantis. Maka, tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari pengetahuan ke-lelaki-an karena secara realitas dan kodrat perempuan memang membutuhkannya. 

BUKAN SEKADAR CIUMAN DI BANDARA INTERNASIONAL

Pemunculan adegan ciuman di bandara Soekarno-Hatta yang dilakukan kedua perempuan remaja dalam kedua film tersebut merupakan penandaan yang menarik untuk dicermati. Tentu bukan sebuah kebetulan ketika adegan tersebut dilakukan di sana. 

Mungkin bagi tim kreatif, keberadaan adegan dan ruang-ruang tersebut bisa memunculkan kesan "dramatis-romantis" dari mereka yang sedang jatuh cinta dan harus terpisah oleh jarak dan waktu untuk beberapa saat lamanya. 

Apabila ruang tersebut dimaknai sebagai tanda dalam konteks pascakolonial, maka akan ditemukan cara pembacaan yang berbeda. Ciuman di depan publik, bagaimanapun juga, merupakan tradisi yang masih dianggap tabu dalam budaya masyarakat Indoensia. 

Ketika kedua perempuan remaja tersebut dengan ikhlas dan senang hati melakukannya, maka mereka sebenarnya telah melakukan tindakan peniruan terhadap tradisi kebebasan Barat yang memang sudah menganggapnya biasa. 

Ruang bandara adalah ruang antara yang menempatkan mereka dalam persimpangan tradisi Timur dan Barat di mana batas-batas kultural di antara keduanya menjadi kabur. 

Di ruang tersebutlah segala kemungkinan bisa terjadi; apakah harus meninggalkan tradisi dan wacana ideologis yang ada dalam masyarakat Indonesia untuk kemudian mengikuti sebagian yang Barat atau tetap mengikuti konsensus tradisi tetapi dengan pikiran dan harapan kebebasan demi sebuah perbaikan perempuan itu sendiri. 

Ketika memilih yang kedua, berarti tidak harus ada adegan ciuman tetapi dengan memunculkan negosiasi untuk kesamaan perasaan dan harapan akan cinta; sesuatu yang memang masih sulit didapatkan dalam budaya masyarakat kita. 

Film ini ternyata  memilih untuk sejenak melupakan tradisi dan sekedar meniru sedikit praktik kebebasan Barat, bukan pikiran dan harapan, karena Tita tetap saja masuk dalam permainan dan kuasa hegemonik laki-laki.  

Di samping itu, dalam perspektif resistensi, ciuman atas nama cinta di ruang terbuka, bisa jadi merupakan perlawanan terhadap tabu dan norma yang diajarkan generasi tua, yang banyak membatasi kaum muda dalam harapan konservatif. 

Kekakuan-kekakuan dogma ortodok yang mengatasnamakan keindonesiaan dikritisi dengan pemahaman-pemahaman yang lebih baru dari budaya asing melalui wacana-wacana cinta ala kaum muda. 

Sudah lama kaum muda masuk dalam relasi kuasa diskursif dan menjadi subjek penurut yang akan di-liyan-kan ketika mereka memberontak dengan praktik dan wacana ideologis yang berseberangan dengan tradisi.  Hadirnya ciuman di ruang umum dalam film, bisa jadi, merupakan serangan balik untuk melawan kekangan-kekangan tersebut. 

Namun, impian resisten yang diartikulasikan ternyata cenderung mengembalikan perempuan ke dalam wacana ideologis konsensual dengan menggantungkan harapan pada laki-laki, bukan dari kepentingan dan kemampuan negosiatif yang tidak harus memberikan ciuman sebagai tanda cinta.

Dengan demikian, dalam kedua film tersebut artikulasi perayaan kebebasan perempuan remaja, ternyata baru sebatas pada gugatan terhadap kekakuan tradisi dalam memahami persoalan ekspresi cinta. 

Dalam konteks relasi kuasa laki-laki, pertarungan ideologis yang terjadi ternyata masih besifat hegemonik. Para tokoh perempuan memang pada awalnya dibiarkan dalam menikmati kehidupan mereka sebagai pelaku utama dalam struktur dunia naratif. 

Mereka bisa saja marah kepada laki-laki yang dianggap sombong. Mereka untuk beberapa saat lamanya dibiarkan merayakan kemenangan-kemenangan kecil sebagai tokoh superwomen yang bisa mengendalikan emosinya. Namun, ketika berada dalam persoalan cinta yang sebenarnya, mereka, lagi-lagi, tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa pasrah ketika laki-laki menciumnya di bandara internasional. 

DAFTAR BACAAN 

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Siregar, Ashadi. 2004. "Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa", dalam Idi Subandy Ibrahim (Ed). Lifestyle Ecstacy Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

FILM

Cheppy, Nasri. 2003. Eiffel I'am in Love. Jakarta: Soraya Intercine Film.

Soedjarwo, Rudi. 2001. Ada Apa Dengan Cinta? Jakarta: Miles Production.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun