BUKAN SEKADAR CIUMAN DI BANDARA INTERNASIONAL
Pemunculan adegan ciuman di bandara Soekarno-Hatta yang dilakukan kedua perempuan remaja dalam kedua film tersebut merupakan penandaan yang menarik untuk dicermati. Tentu bukan sebuah kebetulan ketika adegan tersebut dilakukan di sana.Â
Mungkin bagi tim kreatif, keberadaan adegan dan ruang-ruang tersebut bisa memunculkan kesan "dramatis-romantis" dari mereka yang sedang jatuh cinta dan harus terpisah oleh jarak dan waktu untuk beberapa saat lamanya.Â
Apabila ruang tersebut dimaknai sebagai tanda dalam konteks pascakolonial, maka akan ditemukan cara pembacaan yang berbeda. Ciuman di depan publik, bagaimanapun juga, merupakan tradisi yang masih dianggap tabu dalam budaya masyarakat Indoensia.Â
Ketika kedua perempuan remaja tersebut dengan ikhlas dan senang hati melakukannya, maka mereka sebenarnya telah melakukan tindakan peniruan terhadap tradisi kebebasan Barat yang memang sudah menganggapnya biasa.Â
Ruang bandara adalah ruang antara yang menempatkan mereka dalam persimpangan tradisi Timur dan Barat di mana batas-batas kultural di antara keduanya menjadi kabur.Â
Di ruang tersebutlah segala kemungkinan bisa terjadi; apakah harus meninggalkan tradisi dan wacana ideologis yang ada dalam masyarakat Indonesia untuk kemudian mengikuti sebagian yang Barat atau tetap mengikuti konsensus tradisi tetapi dengan pikiran dan harapan kebebasan demi sebuah perbaikan perempuan itu sendiri.Â
Ketika memilih yang kedua, berarti tidak harus ada adegan ciuman tetapi dengan memunculkan negosiasi untuk kesamaan perasaan dan harapan akan cinta; sesuatu yang memang masih sulit didapatkan dalam budaya masyarakat kita.Â
Film ini ternyata  memilih untuk sejenak melupakan tradisi dan sekedar meniru sedikit praktik kebebasan Barat, bukan pikiran dan harapan, karena Tita tetap saja masuk dalam permainan dan kuasa hegemonik laki-laki. Â
Di samping itu, dalam perspektif resistensi, ciuman atas nama cinta di ruang terbuka, bisa jadi merupakan perlawanan terhadap tabu dan norma yang diajarkan generasi tua, yang banyak membatasi kaum muda dalam harapan konservatif.Â
Kekakuan-kekakuan dogma ortodok yang mengatasnamakan keindonesiaan dikritisi dengan pemahaman-pemahaman yang lebih baru dari budaya asing melalui wacana-wacana cinta ala kaum muda.Â