Sudah lama kaum muda masuk dalam relasi kuasa diskursif dan menjadi subjek penurut yang akan di-liyan-kan ketika mereka memberontak dengan praktik dan wacana ideologis yang berseberangan dengan tradisi. Â Hadirnya ciuman di ruang umum dalam film, bisa jadi, merupakan serangan balik untuk melawan kekangan-kekangan tersebut.Â
Namun, impian resisten yang diartikulasikan ternyata cenderung mengembalikan perempuan ke dalam wacana ideologis konsensual dengan menggantungkan harapan pada laki-laki, bukan dari kepentingan dan kemampuan negosiatif yang tidak harus memberikan ciuman sebagai tanda cinta.
Dengan demikian, dalam kedua film tersebut artikulasi perayaan kebebasan perempuan remaja, ternyata baru sebatas pada gugatan terhadap kekakuan tradisi dalam memahami persoalan ekspresi cinta.Â
Dalam konteks relasi kuasa laki-laki, pertarungan ideologis yang terjadi ternyata masih besifat hegemonik. Para tokoh perempuan memang pada awalnya dibiarkan dalam menikmati kehidupan mereka sebagai pelaku utama dalam struktur dunia naratif.Â
Mereka bisa saja marah kepada laki-laki yang dianggap sombong. Mereka untuk beberapa saat lamanya dibiarkan merayakan kemenangan-kemenangan kecil sebagai tokoh superwomen yang bisa mengendalikan emosinya. Namun, ketika berada dalam persoalan cinta yang sebenarnya, mereka, lagi-lagi, tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa pasrah ketika laki-laki menciumnya di bandara internasional.Â
DAFTAR BACAANÂ
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Siregar, Ashadi. 2004. "Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa", dalam Idi Subandy Ibrahim (Ed). Lifestyle Ecstacy Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Cheppy, Nasri. 2003. Eiffel I'am in Love. Jakarta: Soraya Intercine Film.
Soedjarwo, Rudi. 2001. Ada Apa Dengan Cinta? Jakarta: Miles Production.