AWAL(-AN)
Bambu merupakan entitas yang sulit dipisahkan dari masyarakat dan budaya Banyuwangi. Bukan hanya untuk keperluan bangunan rumah, gubuk, dan kerajinan fungsional, tetapi juga untuk alat-alat kesenian, angklung. Kenyataan itu tentu tidak bisa dipisahkan dari lanskap geografis berupa gunung, lereng, lembah, hutan, dan sungai yang menjadi tempat ideal bagi tumbuhnya pohon dan hutan bambu.
Jenis-jenis bambu yang tumbuh di wilayah Banyuwangi antara lain bambu "ampel" (Bambusa vulgaris), "wuluh" (Schizostrachyum iraten), "rampal" (Schizostrachyum zollingeri), "apus" (Gigantochloa apus), "gesing" (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa hasskarliana), "jalar" (Dinochloa sp), "Jawa" (Gigantochloa atter), "ori" (Bambusa arundinacea), dan "pring manggong" (Bambusa jacobsii).
Secara ekologis, rumpun bambu atau barongan berfungsi menahan tanah dan menyimpan air dalam tanah. Tidak mengherankan kalau pada era 1970-an hingga 1980-an awal, sungai-sungai yang mengalir ke wilayah Sempu, Songgon, Kalibaru, Temuguru, Singojuru, hingga Genteng terkenal jernih dengan volume air melimpah.Â
Demikian juga sungai yang berasal dari wilayah hutan Kalipuro. Daerah aliran sungai (DAS) juga ditumbuhi barongan, baik dari jenis petung maupun ori (berduri). Di sisi lain, kemelimpahan bambu menjadikan warga memanfaatkannya untuk bermacam keperluan hidup.Â
Dalam tradisi masyarakat Banyuwangi, terdapat tiga elemen dominan yang membutuhkan kehadiran bambu, yakni rumah, kerajinan, dan kesenian. Meskipun tidak seperti era 1970-an dan 1980-an, rumah-rumah berbahan bambu masih bisa dijumpai di wilayah-wilayah perdusunan. Dari tiang hingga dinding dibuat dari bambu.Â
Sayangnya, rumah berbahan bambu di tengah-tengah masyarakat desa  saat ini diidentikkan dengan kelompok warga ekonomi lemah. Sementara, para pemodal mendirikan rumah makan atapun kafe yang bangunannya berbahan bambu yang sudah dipoles, baik di kota, pinggiran kota, maupun desa.Â
Untuk bidang kerajinan, kebutuhan akan bambu cukup banyak, khususnya untuk kerajinan fungsional non-estetik seperti besek ikan pindang ataupun kerajinan fungsional-estetik berupa hiasan yang tidak hanya melayani kebutuhan domestik, tetapi juga internasional.Â
Gintangan dan Gombengsari terkenal sebagai sentra kerajinan bambu. Sementara, untuk alat musik angklung yang mirip dengan angklung Bali, perkembangan pada era 1960-an cukup semarak karena banyaknya kelompok musik ini di banyak desa. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa bambu menempati posisi penting dalam kehidupan sehari-hari, ekonomi kreatif kerajinan hingga ekspresi-estetik kultural. Â
Apa yang harus diperhatian untuk saat ini adalah permasalahan ekologis terkait keberadaan bambu. Meskipun jumlahnya masih cukup, namun banyak rumpun bambu di lereng gunung, di DAS, maupun di tanah kebun masyarakat mulai hilang karena dijadikan lahan galian pasir atau perumahan. Volume air di beberapa sungai yang melewati wiayah kabupaten di ujung Timur Jawa ini semakin berkurang di musim kemarau.
Secara historis, krisis bambu mulai terasa ketika pada tahun 1970-an sebuah pabrik kertas, PT. Basuki Rachmat beroperasi. Cahyono (2007) menjelaskan bahwa pabrik ini didirikan atas dasar TAP MPRS No. II Tahun 1960 dengan nama Proyek Pabrik Kertas Basuki Rachmat dengan luas areal 50 ha dan kapasitas produksi 13.000 ton/tahun. Peresmian sekaligus peningkatan kapasitas produksi Basuki Rachmat dilakukan pada pada 26 April 1969.Â